Dia bersaksi untuk terdakwa mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung.
Dalam persidangan, Mulyati mengakui bahwa atasannya, yakni Sjamsul Nursalim, pernah mengklaim bahwa utang petambak Rp 4,8 triliun kepada Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) sebagai utang yang tergolong lancar.
Awalnya, jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membacakan berita acara pemeriksaan (BAP) Mulyati saat diperiksa penyidik.
Dalam BAP, Mulyati mengatakan, dalam rapat dengan BPPN, Sjamsul menerangkan bahwa utang petambak dalam keadaan lancar.
"Betul. Sudah tercantum di dalamnya bahwa utang itu dasarnya dollar AS," ujar Mulyati.
Mulyati awalnya juga tidak dapat mengingat apakah perusahaan milik Sjamsul, yakni PT DCD dan PT Wachyuni Mandira (PT WM) adalah perusahaan penjamin utang petambak kepada BDNI.
Namun, dalam BAP, Mulyati pernah mengakui bahwa kedua perusahaan itu adalah perusahaan inti yang menjamin utang plasma, atau petambak.
Menurut jaksa, ada perjanjian yang menerangkan jika petambak tidak membayar pinjaman selama 7 bulan berturut-turut, maka utang akan ditanggung oleh PT DCD dan PT WM.
"Kalau ada sesuai perjanjian, ya itu yang dilakukan," kata Mulyati.
Dalam kasus ini, Syafruddin didakwa merugikan negara sekitar Rp 4,5 triliun terkait penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI kepada BDNI.
Menurut jaksa, perbuatan Syafruddin telah memperkaya Sjamsul Nursalim, selaku pemegang saham pengendali BDNI tahun 2004.
Menurut jaksa, Syafruddin selaku Kepala BPPN diduga melakukan penghapusan piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (PT DCD) dan PT Wachyuni Mandira (PT WM).
Selain itu, Syafruddin disebut telah menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham.
Padahal, menurut jaksa, Sjamsul Nursalim belum menyelesaikan kewajibannya terhadap kesalahan (misrepresentasi) dalam menampilkan piutang BDNI kepada petambak, yang akan diserahkan kepada BPPN.
https://nasional.kompas.com/read/2018/07/23/16225941/anak-buah-sjamsul-nursalim-akui-awalnya-utang-rp-48-triliun-diklaim-lancar