Menurut dia, dalam draf revisi keluaran 14 Mei 2018 silam belum memuat aturan itu.
Anam memaparkan, berdasarkan draf revisi, pada Pasal 36 masih menyatakan bahwa kompensasi terhadap korban kejahatan terorisme bisa dilakukan setelah putusan pengadilan.
"Kompensasi seharusnya cukup dengan penetapan pengadilan, bukan dengan putusan pengadilan. Karena sifat dan karakter tindak pidana terorisme itu memungkinkan pelaku bebas atau meninggal dunia," kata Anam di kantor Komnas HAM, Jakarta, Rabu (23/5/2018).
Hal itu ditujukan agar para korban benar-benar mendapatkan kemudahan akses dan prosedur dalam memperoleh jaminan kompensasi.
Ia juga berharap agar ada standar minimal nilai kompensasi dari pemerintah terhadap para korban kejahatan terorisme.
"Perlu segera dirumuskan standar minimum hak korban, khususnya item-item kompensasi yang harus diterima korban," kata Anam.
Catatan kritis
Di sisi lain, Anam menyoroti beberapa hal terkait pasal-pasal pokok dalam rancangan ini.
Pertama, terkait definisi. Anam menilai, upaya menghilangkan kata "motif" dan "politik" dalam definisi terorisme patut diapresiasi.
Menurut Anam, hilangnya kata "motif" sangat bermanfaat bagi penegakan hukum, mempermudah pemenuhan unsur tindak pidana, dan memudahkan proses akuntabilitas.
Hilangnya kata "motif" juga membuat penegakan hukum tak melebar ke masalah lain yang berpotensi melanggar HAM.
"Kata 'politik' dihapus juga merupakan proses yang baik, karena mencegah penyalahgunaan kewenangan guna kepentingan politik. Jadi enggak ada lagi tujuan yang lain, ideologi, lah, apa, lah. Motif ideologi, motif politik itu enggak ada," kata dia.
Dalam pasal penangkapan juga dinilainya masih belum dijabarkan lebih jelas, seperti menyangkut lamanya waktu penangkapan, status orang yang ditangkap, dan lokasi penahanan sementaranya.
Terkait pasal penyadapan, Anam melihat substansi penyadapan dalam pasal tersebut masih dalam kerangka kerja intelijen, bukan kerangka penyidikan. Ia mengingatkan, kerangka kerja dalam tindak pidana memiliki prinsip waktu yang terbatas, cepat dan efektif.
Dalam pelibatan pasukan TNI, harus disesuaikan dengan wewenangnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang TNI. Anam menginginkan ada aturan tambahan terkait penentuan skala ancaman, objek vital, penindakan, sifat sementara dan keputusan politik dalam pelibatan TNI.
"Mereka terlibat jika memang dibutuhkan, skala ancamannya harus jelas, temporary-nya juga harus jelas, jadi kalau tiba-tiba Istana disabotase, ya TNI turun, satu sampai empat jam, selesai, tarik, polisi masuk," ujar dia.
Terakhir, Anam mengapresiasi adanya mekanisme pengawasan dalam rancangan undang-undang ini. Ia berharap Komnas HAM juga bisa diikutkan dalam melakukan pengawasan dan dapat bekerja sama dengan DPR.
https://nasional.kompas.com/read/2018/05/24/08403951/komnas-ham-harap-jaminan-kompensasi-korban-terorisme-dipermudah