Menurut Saut, jika mantan napi korupsi menyesali perbuatannya dan masyarakat luas ternyata mau memilih orang tersebut, patut diberikan kesempatan.
"Kalau kita menghukum orang berkali-kali dimana orang yang sudah mengakui kesalahannya, sudah menjalani hukumannya, kita hukum dia berkali-kali dengan kesalahan yang sama ya itu hukum enggak begitu, hukum enggak boleh dendam," kata Saut saat ditemui Kompas.com di sela-sela acara buka puasa bersama di gedung KPK, Jakarta, Rabu (23/5/2018).
Saut menilai, jika seseorang telah dihukum, menjalani hukuman, lalu mengakui secara jujur dan terbuka pernah menjadi mantan narapidana korupsi, maka secara hukum persoalan itu selesai.
Tak menutup kemungkinan jika nantinya orang tersebut justru berubah dan menghasilkan kinerja yang lebih baik.
Terkait dengan kesimpulan Rapat Dengar Pendapat Komisi II dengan pemerintah dan Bawaslu yang meminta KPU mencabut larangan napi korupsi jadi caleg, Saut menghormati sikap tersebut.
"Kalau memang pemerintah dan lainnya mengambil kesepakatan itu ya silakan saja. Kemudian orang bilang 'Pak Saut kalau misal dia korupsi lagi dimana?'. Ya bisa pakai pasal 2 undang-undang tipikor," kata Saut.
Saut memaparkan dalam pasal itu, jika seseorang melakukan korupsi secara berulang, bisa diancam hukuman mati.
"Itu berlaku bagi orang yang sudah korupsi, kemudian keluar penjara, korupsi lagi, bisa dihukum mati," kata dia.
Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor berbunyi, setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Sementara ayat (2) berbunyi, dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Saut masih optimistis, jika mantan narapidana korupsi ingin mencalonkan diri dan mau memperbaiki diri, mereka bisa berubah menjadi baik.
"Kalau orang yang mengajukan diri dan dia bermasalah tapi mau memperbaiki diri pastilah akan berubah. Kalau enggak berubah ya kita pakai pasal 2 itu," katanya.
DPR sebelumnya meminta KPU tak melarang mantan terpidana korupsi mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif (caleg).
Hal itu menjadi kesimpulan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi II DPR dengan KPU di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (22/5/2018).
"Komisi II DPR, Bawaslu, Kemendagri menyepakati aturan larangan mantan napi korupsi dikembalikan peraturannya pada pasal 240 ayat 1 huruf g Undang-undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu," kata Wakil Ketua Komisi II Nihayatul Mafiroh saat membacakan kesimpulan rapat.
Ketua Komisi II Zainudin Amali menambahkan, DPR beserta pemerintah dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga telah bersepakat agar KPU berpedoman pada Undang-undang Pemilu.
Dalam pasal tersebut, dinyatakan, seorang caleg yang berstatus mantan narapidana yang telah menjalani masa hukuman selama lima tahun atau lebih, boleh mencalonkan diri selama yang bersangkutan mengumumkan pernah berstatus sebagai narapidana kepada publik.
https://nasional.kompas.com/read/2018/05/23/21281241/kata-pimpinan-kpk-mantan-napi-koruptor-bisa-nyaleg-asalkan