“Saya melihatnya ini orang bodoh saja, jadi mereka ingin katakanlah sudahlah masuk surga bareng-bareng. Bisa jadi anak diajak begitu saja. Kalau seperti itu sama saja orangtua membunuh anak tanpa alasan yang jelas,” ujar Harits kepada Kompas.com, Selasa (15/5/2018).
Harits mengatakan, anak yang belum bisa memilih itu beda dengan anak-anak yang bisa memilih. Menurut dia, bisa jadi anak itu diajak untuk melakukan terorisme di luar keinginan dan kehendaknya.
“Belum tentu anaknya paham enggak ngerti, sama saja menjatuhkan kezaliman kepada anak,” ucapnya.
“Kalau anaknya sadar seperti contoh di Santa Maria (Gereja Santa Maria Tak Bercela) itu pelaku, tapi kalau anak-anak yang masih kecil yang dibonceng itu masak dia pelaku,” sambungnya.
Catatan polisi, setidaknya ada tiga anak berusia di bawah 13 tahun yang dilibatkan dalam aksi bom bunuh diri di Surabaya. Pertama di Gereja Kristen Indonesia Jalan Diponegoro pada Minggu (13/5/2018).
Seorang ibu bernama Puji Kuswati membawa dua anak perempuannya bernama Fadilah Sari yang berusia 12 tahun dan Pamela Riskika yang berusia 9 tahun.
Kedua anak putri dari otak bom gereja bernama Dita Supriyanto itu tewas dengan kondisi tubuh hancur. Namun, tidak ada korban jiwa dari kalangan masyarakat dari aksi bom bunuh diri itu.
Kedua, seorang anak perempuan berusia delapan tahun yang dibawa orangtuanya untuk meledakkan bom di gerbang Markas Polrestabes Surabaya pada Senin (14/5/2018).
Menurut Harits, perlu melakukan analisis dan pendalaman secara cermat mengenai pelaku yang masih dikategorikan usia di bawah umur.
“Jadi kalau pelaku (anak di bawah umur) perlu dielaborasi apakah kesadaran emang pelaku, apakah kemudian dilakukan berdasarkan tekanan, dihipnosis atau di luar kesadaran, kan, ini perlu diteliti,” tuturnya.
https://nasional.kompas.com/read/2018/05/15/14034891/bom-bunuh-diri-di-surabaya-sama-saja-orangtua-membunuh-anaknya