Salin Artikel

Anak-anak Terlilit Bom dan Meledakkan Diri, Pelaku atau Korban?

Minggu (11/5/2018) pukul 06.30 WIB, kakak beradik berinisial YF dan FH meledakkan diri di Gereja Santa Maria Tak Bercela, Jalan Ngagel Madya, Kota Surabaya. Aksi itu menelan lima korban tewas, termasuk kedua kakak beradik tersebut.

Pukul 07.15 WIB hari yang sama, giliran sang ibu bernama Puji Kuswati membawa dua putrinya FS dan FR diantar sang ayah Dita Oepriarto meledakkan diri di depan Gereja Kristen Indonesia di Jalan Diponegoro.

Bom jenis pipa diletakkan di sabuk yang dikalungkan di kedua putrinya. Aksi itu menewaskan ketiganya.

Pukul 07.53 WIB, usai mengantar sang istri meledakkan diri, giliran sang kepala keluarga, Dita Oepriarto, yang merupakan pimpinan kelompok Jamaah Anshar Daulah (JAD) Surabaya, meledakkan dirinya di Gereja Pantekosta, Jalan Arjuno. Aksi itu menelan lima korban, termasuk Dita.

Tidak berhenti di situ, Senin (12/5/2018) pukul 08.50 WIB, Tri Murtiono dan Tri Ernawati membawa kedua anaknya Ais dan MDS meledakkan diri di Pos Jaga Markas Polrestabes Surabaya.

Aksi itu menewaskan ayah, ibu dan seorang putranya. Sementara, sang putri berinisial Ais selamat meski harus dirawat intensif di UGD RS Bhayangkara.

Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian menyebut, fenomena ini merupakan yang pertama kali terjadi di Indonesia.

Kepala Bidang Pemenuhan Hak Anak dari Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Reza Indragiri Amriel mengatakan, ada banyak penjelasan mengenai penyebab anak berada di pusaran peristiwa teror.

"Tapi dari perspektif psikologi, kata kuncinya adalah suggestibility, kerentanan individu dalam menerima sugesti," ujar Reza kepada Kompas.com, Selasa (15/5/2018).

Sugesti yang dimaksud, mulai dari berbentuk bujuk rayu, iming-iming, pujian hingga paksaan, ancaman dan intimidasi.

Anak, lanjut Reza, adalah salah satu dari tiga kelompok individu yang pada umumnya memiliki sugesti tinggi.

Artinya, orangtua dengan ideologi, nilai dan pemahaman yang dimiliki, sangat mudah 'membentuk' anak sesuai seperti yang mereka inginkan atau yang mereka anggap sebagai suatu kebenaran.

"Kondisi psikologis itu pastinya akan bisa dimanfaatkan sempurna oleh pihak-pihak yang menguasai diri anak, tidak lain adalah orangtua anak-anak itu sendiri," lanjut dia.

Dari perspektif psikologis ini, maka pertanyaan mengapa anak berada di pusaran aksi teror terjawab.

Orangtua menjadi 'auktor intelektualis' perubahan perangai sang anak yang semestinya penuh kepolosan, kegembiraan dan bebas dari busuk hati, menjadi sosok yang sedemikian menakutkan bagi publik.

Lebih lanjut soal anak menjadi korban terorisme...

Lantas dalam perspektif hukum, apakah anak-anak itu dikategorikan sebagai pelaku teror?

"Sebutan bahwa anak-anak adalah pelaku teror perlu bersama-sama kita takar ulang ketepatannya," ujar Reza.

"Seberapa jauh anak-anak itu tahu? Seberapa jauh mereka setuju? Seberapa jauh mereka sukarela ikut dalam aksi teror? Itu beberapa pertanyaan yang penting kita sama-sama cermati sebelum mereka, anak-anak, dijuluki sebagai pelaku teror atau pelaku bom bunuh diri," lanjut dia.

Sebab, catatan di sejumlah negara justru menunjukkan bahwa dari sekian banyak peristiwa teror yang melibatkan anak-anak, ternyata mereka tidak tahu menahu kiprah orangtua mereka di dunia terorisme.

Jika demikian, pantaskah anak-anak terjerumus juga dalam 'lubang' yang dibuat orangtuanya?

Reza menegaskan, tidak.

"Bahkan, ketika anak-anak menjadi pelaku aktif kejahatan sekali pun, secara arif dan bijaksana, mereka juga sepatutnya dipandang dan disikapi sebagai korban. Kelakuan jahat anak tidak bisa lepas dari orang-orang di sekitarnya. Perilaku mereka adalah buah dari pengasuhan yang salah, pertemanan yang keliru dan pengaruh sosial negatif lainnya," papar Reza.

Apalagi, dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, jelas memuat larangan kepada siapa pun mengajak atau melibatkan anak dalam tindakan kekerasan. Pelaku akan dikenakan pemberatan hukuman.

Mendasar pada aturan itu, maka fakta bahwa di tubuh seorang anak terlilit sabuk berisi bom dan meledak sehingga menewaskan orang banyak, mereka adalah pihak yang diajak atau dilibatkan oleh orang lain (orangtua) dalam tindakan kekerasan. Anak-anak justru adalah korban.

"Karena pihak yang mengajak anak-anak melakukan kekerasan adalah orangtuanya sendiri. Seandainya masih hidup, orangtua mereka pantas dikenai pemberatan di dalam hukumannya," ujar Reza.

Oleh sebab itu, Reza yang juga merupakan pakar psikologi forensik dari Universitas Indonesia itu meminta masyarakat menghindari stigmasisasi terhadap anak-anak dari keluarga teroris.

"Undang-Undang Perlindungan Anak memerintahkan kita untuk melindungi anak-anak tersebut dari stigmas terkait tindak tanduk orangtua mereka sendiri," ujar Reza.

https://nasional.kompas.com/read/2018/05/15/10101531/anak-anak-terlilit-bom-dan-meledakkan-diri-pelaku-atau-korban

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke