Menurut Agustinus, dengan adanya ketentuan pidana mati, negara justru telah mengajarkan pada masyarakat bahwa orang yang melakukan kejahatan bisa diambil nyawanya.
Oleh sebab itu, ia tak sepakat jika pemerintah masih menerapkan hukuman mati meski dalam RKUHP dikategorikan sebagai pidana alternatif.
"Ada satu teori yang mengatakan bahwa pidana mati sebetulnya negara mengajarkan kepada masyarakat bahwa orang yang melakukan kejahatan bisa diambil nyawanya. Justru mendorong peningkatan kekerasan di tengah masyarakat," ujar Agustinus dalam sebuah diskusi bertajuk 'Membedah Konstruksi Pengaturan Buku I Rancangan KUHP' di Kampus Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (7/5/2018).
Selain itu, Agustinus juga merujuk sebuah hasil penelitian di Amerika Serikat. Hasil penitian tersebut menyatakan, setelah pidana mati dilaksanakan, angka kejahatan terkait pembunuhan malah meningkat.
Di sisi lain, hasil penelitian itu juga menyebutkan ada puluhan orang di AS yang sudah dieksekusi mati, namun ternyata keesokan harinya diketahui bahwa putusan itu keliru.
"Buat saya pidana mati tidak pernah bisa membuktikan keberhasilannya. Orang kan hanya mengasumsikan, semakin berat pidana maka semakin akan menjerakan," kata Agustinus.
Belakangan, penerapan hukuman mati sebagai pidana alternatif memicu kritik dari kalangan masyarakat sipil dan aktivis HAM.
Pasal 73 draf RKUHP per 2 Februari 2018 menyatakan pidana mati diancamkan secara alternatif terhadap tindak pidana yang bersifat khusus.
Mereka memandang, meskipun hukuman mati ditempatkan sebagai pidana yang bersifat khusus, namun esensinya tetap ada sebagai sebagai pidana pokok.
Di sisi lain, ketentuan pidana mati dalam RKUHP dinilai bertentangan dengan sejumlah ketentuan HAM internasional. Indonesia sudah meratifikasi konvenan internasional tentang hak sipil dan politik.
Dalam konvenan tersebut dinyatakan bahwa hak hidup merupakan hak asasi manusia yang tidak bisa dikurangi. Kemudian Indonesia meratifikasinya melalui Undang-Undang No. 12 tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights.
Selain melanggar konvenan internasional, penerapan hukuman mati juga melanggar pasal 28 UUD 1946 dan UU no. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Pasal 28A UUD 1945 menyebutkan, setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
https://nasional.kompas.com/read/2018/05/07/21142791/akademisi-penerapan-pidana-mati-meningkatkan-kekerasan-di-masyarakat