Salin Artikel

"TKA itu Masalah Klasik, Sudah Ada Sejak Pemerintahan Sebelumnya"

Menurut Tavip, Perpres tersebut tak bisa dikaitkan dengan masalah serbuan TKA yang masuk ke Indonesia dan dikhawatirkan memperbanyak jumlah TKA yang melakukan pekerjaan kasar.

Ia menilai justru Perpres Penggunaan TKA, dari sisi substansi, bertujuan untuk membatasi masuknya TKA ke Indonesia.

"Perpres ini justru saya lihat ingin membatasi, ingin mengatur supaya jangan sampai ada tenaga kerja asing yang murahan, rendahan kelasnya, itu diterima di Indonesia. Bahwa ada kasus-kasus (masuknya TKA) itu hal yang berbeda yang harus diatasi," ujar Tavip saat ditemui di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (29/4/2018).

Dalam Perpres yang ditandatangani Presiden Jokowi pada 26 Maret lalu ini disebutkan, penggunaan TKA dilakukan oleh pemberi kerja TKA dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu. Tetapi, hal itu dilakukan dengan memperhatikan kondisi pasar tenaga kerja dalam negeri.

Setiap pemberi kerja TKA, wajib mengutamakan penggunaan tenaga kerja Indonesia pada semua jenis jabatan yang tersedia. Dalam hal jabatan sebagaimana dimaksud belum dapat diduduki oleh tenaga kerja Indonesia, jabatan tersebut dapat diduduki oleh TKA

Dalam perpres ini juga disebutkan, setiap pemberi kerja TKA yang menggunakan TKA harus memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA) yang disahkan menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Tavip mengakui memang ada beberapa kasus atau penyimpangan terkait TKA yang masuk ke Indonesia. Namun, kasus itu muncul karena lemahnya pengawasan dari pihak berwenang.

"Kalau kabar adanya serbuan jutaan TKA itu hoaks-lah. Bahwa ada beberapa kasus itu pasti, sejak lama itu sudah ada. TKA itu kan masalah klasik. Sejak zaman pemerintahan sebelumnya juga itu sudah ada," kata Tavip.

Di sisi lain, lanjut Tavip, pihak pengusaha biasanya enggan untuk memberikan pekerjaan-pekerjaan kasar kepada TKA.

Sebab, menurut Tavip, biaya yang harus dikeluarkan oleh pihak pengusaha akan sangat besar jika mempekerjakan TKA.

"Tidak mungkin lah pekerjaan kasar itu diberikan kepada TKA karena biayanya sangat mahal, harus menyediakan mess dan lain sebagainya," ucapnya.


Berpotensi langgar UU

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi V DPR dari Fraksi PKS Sigit Sosiantomo menyesalkan sikap pemerintah menerbitkan Perpres Penggunaan TKA. Ia menilai Perpres itu mempermudah TKA untuk bekerja di Indonesia dan berpotensi melanggar sejumlah peraturan perundang-undangan.

"Kami kecewa dengan kebijakan ini. Dalam membuat UU, kami, DPR dan pemerintah sudah sepakat untuk melindungi tenaga kerja kita dan memperketat aturan bagi TKA untuk bekerja di Indonesia. Sikap pemerintah kok malah seperti ini," ujar Sigit melalui keterangan tertulisnya, Kamis (10/4/2018).

Menurut Sigit, kebijakan memberi kemudahkan perizinan pada TKA berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.

Selain itu, Perpres tersebut juga berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (Jaskon), Undang-Undang Nomor 6 tahun 2017 tentang Arsitek dan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2014 tentang Keinsinyuran.

Dalam keempat UU itu, kata Sigit, sudah diatur sangat ketat agar tenaga kerja asing tidak asal masuk.

Bahkan, untuk badan usaha jasa konstruksi asing yang bekerja di Indonesia pun harus lebih memprioritaskan pekerja lokal daripada pekerja asing.

"Soal serbuan tenaga kerja asing ini sebenarnya sudah diantisipasi DPR dalam berbagai aturan perundang-undangan. Di UU jaskon misalnya, jelas di UU itu ada pembatasan untuk TKA yang bisa bekerja di Indonesia. Tujuannya untuk melindungi tenaga kerja kita. Dalam UU Arsitek, arsitek asing harus bekerja sama dengan arsitek Indonesia dan sebagai penanggung jawabnya yaitu arsitek Indonesia," kata Sigit.

Di sisi lain, Sigit juga mengingatkan bahwa masih banyak tenaga kerja lokal yang kesulitan mendapatkan pekerjaan. Hal itu tergambar dari minimnya penyerapan tenaga kerja Indonesia, bahkan minus untuk sektor konstruksi.

Sigit menjelaskan, berdasarkan hasil riset Center of Reform on Economic (CORE), anggaran infrsatruktur yang digenjot pemerintah tidak serta merta menambah lapangan kerja. Untuk sektor konstruksi, CORE mencatat penyerapan tenaga kerja untuk sektor konstruksi minus 7 persen.

Sementara berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2017 menunjukkan angka pengangguran di Indonesia mencapai 7,04 juta atau ada penambahan jumlah pengangguran sebanyak 10 ribu orang dalam setahun terakhir.

Menurut Sigit, hasil survei BPS dan riset CORE sudah cukup membuktikan bahwa Indonesia masih butuh banyak lapangan kerja untuk rakyat.

Apalagi, dari 121 juta penduduk yang bekerja, sebanyak 69,02 juta orang atau 57,03 persen penduduk, bekerja di sektor informal.

"Inikan sangat menyakitkan hati rakyat jika justru lapangan kerja baru diberikan pada TKA. Seharusnya, pemerintah lebih fokus untuk meningkatkan daya saing pekerja Indonesia sehingga bisa terserap diberbagai lapangan kerja, bukan sebaliknya mengeluarkan kebijakan yang kontraproduktif," tutur Sigit.

https://nasional.kompas.com/read/2018/04/30/07232591/tka-itu-masalah-klasik-sudah-ada-sejak-pemerintahan-sebelumnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke