Menurut Fary, saat ini Badan Keahlian DPR RI tengah menyusun draf revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ).
"Kami mau mendorong agar persoalan ini secepatnya dituntaskan. Apalagi persoalannya menyangkut, sebenarnya sederhana, menyangkut tarif, yang berkaitan dengan legalitas hukumnya," ujar Fary di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (24/4/2018).
"Sudah kami bicarakan, sudah kami minta untuk dikaji oleh badan pengkajian DPR untuk merevisi UU," tambah dia.
Revisi tersebut, kata Fary, untuk mengatur standar pelayanan minimum (SPM) transportasi online yang belum diatur dalam UU LLAJ.
Selain taksi online, kendaraan roda dua sebagai salah satu moda transportasi umum baik yang konvensional maupun dengan aplikasi berbasis teknologi informasi juga tidak diatur dalam UU LLAJ.
Sementara, dalam perkembangannya, keberadaan transportasi online telah diakui dan digunakan oleh masyarakat.
"Karena memang di UU LLAJ kan belum mengatur tentang angkutan roda dua itu," kata Fary.
"Kita sudah sepakati bahwa untuk melakukan kajian untuk mendalami, kira-kira kalau ingin merevisi terbatas itu apa saja, sekarang sedang dikaji," tuturnya.
Sebelumnya, Perwakilan pengunjuk rasa ojek online bersama Forum Peduli Transportasi Online Indonesia (FPTOI) bertemu pimpinan Komisi V DPR RI di ruang rapat komisi, Senin (23/4/2018) lalu.
Dalam audiensi tersebut, mereka menyampaikan tiga tuntutan terkait regulasi atas keberadaan kendaraan roda dua sebagai alat transportasi online.
Pertama, meminta Komisi V DPR agar mendesak Presiden joko Widodo membuat regulasi sebagai payung hukum bagi ojek online.
Kedua, meminta DPR dan pemerintah merevisi UU LLAJ.
Ketiga, pengemudi ojek online juga meminta pemerintah menetapkan tarif bawah sebesar Rp 3.200.
https://nasional.kompas.com/read/2018/04/25/18164891/komisi-v-dpr-janji-segera-tuntaskan-polemik-ojek-online