Saat itu, awalnya Belanda banyak mengerahkan operasi udara untuk membombardir seluruh potensi kekuatan militer Indonesia, terutama kekuatan udara. Salah satu pusat kekuatan udara Indonesia yang hendak dihancurkan Belanda ialah Pangkalan Udara Maguwo, di Yogyakarta.
Dikutip dari buku Sejarah TNI Angkatan Udara Jilid 1, selama 40 menit, empat pesawat pemburu milik Belanda menjatuhkan bom di atas lapangan terbang Maguwo dan Wonocatur yang menyebabkan kebakaran di beberapa lokasi pangkalan udara tersebut.
Pada 25 Juli 1947, Belanda kembali membombardir Maguwo dengan Pesawat P-40 Kitty Hawk. Serangan tersebut dibalas oleh perlawanan dari darat. Alhasil satu pesawat Belanda terkena tembakan dari darat dan melarikam diri ke Solo.
Dalam serangan tersebut, Belanda turut menyerang Pangkalan Udara Bugis (Malang), Maospati (Madiun), Panasan (Solo), Cibeureum (Tasikmalaya), dan Kalijati (Subang). Serangan Belanda tersebut memang melumpuhkan sebagian besar hasil pembinaan kekuatan udara Indonesia yang telah dirintis selama dua tahun pasca-kemerdekaan.
Namun, TNI AU tak kehilangan akal. Mereka menyelamatkan dan menyembunyikan pesawat tempur yang tersisa. Cara tersebut dianggap bisa mengelabui Belanda, seolah menunjukan Indonesia tak lagi memiliki kekuatan udara untuk balas menyerang.
Serangan balasan pun dimulai. Strateginya dengan memanfaatkan armada yang serba terbatas. Operasi yang dipimpin oleh Komodor Muda Halim Perdanakusuma itu memutuskan untuk menyerang kekuatan udara Belanda di Semarang dan Salatiga.
Berbekal lampu senter untuk navigasi
Pagi hari (29 Juli 1947), pukul 05.00 WIB, gelap masih menyelimuti Pangkalan Udara Maguwo. Kadet Penerbang Mulyono mulai lepas landas menggunakan Pesawat Guntai yang dulunya milik tentara Jepang.
Para awak pesawat hanya dibekali lampu senter sebagai alat komunikasi melalui isyarat lampu. Selain itu, untuk mengecoh musuh, mereka menempuh rute yang berlawanan terlebih dahulu, baru setelah itu menuju sasaran.
Serangan udara dilakukan di dua tempat yakni Semarang bagian atas dan bawah. Enam buah bom yang dibawa Pesawat Guntai.
Setelah Kadet Penerbang Mulyono lepas landas ke Semarang, serangan udara dilanjutkan ke Salatiga. Serangan ke Salatiga menggunakan Pesawat Cureng yang diawaki Kadet Penerbang Soetardjo Sigit.
Lagi-lagi dengan pesawat yang tak memadai karena tak dilengkapi dengan lampu penerangan dan radio, TNI AU berhasil menemukan sasaran penyerangan yang diyakini sebagai markas militer Belanda di Salatiga.
Setelah sukses melaksanakan misi, ketiga pesawat kembali ke Pangkalan Udara Maguwo. Tujuan yang ingin dicapai dalam operasi tersebut bukan semata untuk menghancurkan kekuatan Belanda, mengingat personil dan armada TNI AU kalah jauh dibandingkan Belanda.
Serangan udara tersebut lebih ditujukan untuk memperlihatkan eksistensi TNI AU di mata dunia internasional. Dan benar saja, serangan udara di Semarang, Salatiga, dan Ambarawa menarik perhatian dunia internasional. Radio Singapura menyiarkan serangan tersebut sebagai berita utama.
Mau tak mau, Belanda pun merespons serangan tersebut dengan mengeluarkan pernyataan, namun berdana meremehkan. Di sisi lain, meski Belanda meremehkan serangan tersebut, mau tak mau mereka mengakui keberadaan TNI AU yang hanya bermodalkan dua Pesawat Cureng dan satu Pesawat Guntai, namun tetap mampu memberikan perlawanan.
Lumpuhkan Belanda, TNI AU Hanya Bermodalkan Tiga Pesawat Tempur dan Senter untuk Navigasi
Saat itu, awalnya Belanda banyak mengerahkan operasi udara untuk membombardir seluruh potensi kekuatan militer Indonesia, terutama kekuatan udara. Salah satu pusat kekuatan udara Indonesia yang hendak dihancurkan Belanda ialah Pangkalan Udara Maguwo, di Yogyakarta.
Dikutip dari buku Sejarah TNI Angkatan Udara Jilid 1, selama 40 menit, empat pesawat pemburu milik Belanda menjatuhkan bom di atas lapangan terbang Maguwo dan Wonocatur yang menyebabkan kebakaran di beberapa lokasi pangkalan udara tersebut.
Pada 25 Juli 1947, Belanda kembali membombardir Maguwo dengan Pesawat P-40 Kitty Hawk. Serangan tersebut dibalas oleh perlawanan dari darat. Alhasil satu pesawat Belanda terkena tembakan dari darat dan melarikam diri ke Solo.
Dalam serangan tersebut, Belanda turut menyerang Pangkalan Udara Bugis (Malang), Maospati (Madiun), Panasan (Solo), Cibeureum (Tasikmalaya), dan Kalijati (Subang). Serangan Belanda tersebut memang melumpuhkan sebagian besar hasil pembinaan kekuatan udara Indonesia yang telah dirintis selama dua tahun pasca-kemerdekaan.
Namun, TNI AU tak kehilangan akal. Mereka menyelamatkan dan menyembunyikan pesawat tempur yang tersisa. Cara tersebut dianggap bisa mengelabui Belanda, seolah menunjukan Indonesia tak lagi memiliki kekuatan udara untuk balas menyerang.
Serangan balasan pun dimulai. Strateginya dengan memanfaatkan armada yang serba terbatas. Operasi yang dipimpin oleh Komodor Muda Halim Perdanakusuma itu memutuskan untuk menyerang kekuatan udara Belanda di Semarang dan Salatiga.
Berbekal lampu senter untuk navigasi
Pagi hari (29 Juli 1947), pukul 05.00 WIB, gelap masih menyelimuti Pangkalan Udara Maguwo. Kadet Penerbang Mulyono mulai lepas landas menggunakan Pesawat Guntai yang dulunya milik tentara Jepang.
Para awak pesawat hanya dibekali lampu senter sebagai alat komunikasi melalui isyarat lampu. Selain itu, untuk mengecoh musuh, mereka menempuh rute yang berlawanan terlebih dahulu, baru setelah itu menuju sasaran.
Serangan udara dilakukan di dua tempat yakni Semarang bagian atas dan bawah. Enam buah bom yang dibawa Pesawat Guntai.
Setelah Kadet Penerbang Mulyono lepas landas ke Semarang, serangan udara dilanjutkan ke Salatiga. Serangan ke Salatiga menggunakan Pesawat Cureng yang diawaki Kadet Penerbang Soetardjo Sigit.
Lagi-lagi dengan pesawat yang tak memadai karena tak dilengkapi dengan lampu penerangan dan radio, TNI AU berhasil menemukan sasaran penyerangan yang diyakini sebagai markas militer Belanda di Salatiga.
Setelah sukses melaksanakan misi, ketiga pesawat kembali ke Pangkalan Udara Maguwo. Tujuan yang ingin dicapai dalam operasi tersebut bukan semata untuk menghancurkan kekuatan Belanda, mengingat personil dan armada TNI AU kalah jauh dibandingkan Belanda.
Serangan udara tersebut lebih ditujukan untuk memperlihatkan eksistensi TNI AU di mata dunia internasional. Dan benar saja, serangan udara di Semarang, Salatiga, dan Ambarawa menarik perhatian dunia internasional. Radio Singapura menyiarkan serangan tersebut sebagai berita utama.
Mau tak mau, Belanda pun merespons serangan tersebut dengan mengeluarkan pernyataan, namun berdana meremehkan. Di sisi lain, meski Belanda meremehkan serangan tersebut, mau tak mau mereka mengakui keberadaan TNI AU yang hanya bermodalkan dua Pesawat Cureng dan satu Pesawat Guntai, namun tetap mampu memberikan perlawanan.