Menurut dia, tidak ada keinginan DPR untuk membatasi kritik lewat revisi Undang-undang tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3).
Hal itu dikatakan Arsul saat menjadi narasumber dalam diskusi Polemik di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (17/2/2018).
"Kami dikritik orang seperti Mas Lucius saja masih suka mengantuk dan tidur. Apalagi kalau tidak ada kritik, ngorok mungkin," kata Arsul.
Sebelumnya, aktivis dan masyarakat sipil mengkritik Pasal 122 huruf k UU MD3.
Pasal itu berbunyi bahwa Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) bertugas mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
Frasa merendahkan kehormatan dinilai terlalu abstrak. Kritik serta penilaian kepada DPR dan anggota DPR dikhawatirkan termasuk dalam kategori merendahkan kehormatan DPR.
Dengan demikian, semua orang termasuk pers bisa saja dikenai pasal tersebut.
Menurut Arsul, pasal itu tidak bermaksud bahwa DPR menolak kritik. Hanya, setiap orang diminta lebih berhati-hati saat menyampaikan kritik.
Sebab, menurut Arsul, terkadang kritik disampaikan dengan penghinaan. Meski demikian, dapat tetap dibedakan antara kritik, penghinaan atau penistaan.
"Sebaiknya, sebisa mungkin budayakan kritik yang tidak berkonten penghinaan. Pilihlah kata-kata biasa. Tapi tidak perlu santun-santun amat, karena nanti enggak bunyi," kata Arsul.
https://nasional.kompas.com/read/2018/02/17/13553561/politisi-ppp-kami-dikritik-saja-masih-suka-tidur-apalagi-tak-ada-kritik