Sebab, ketentuan itu membuka peluang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) memidana siapa saja yang dianggap merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
Pasal 122 huruf k berbunyi "MKD bertugas mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR".
Analis politik Exposit Strategic Arif Susanto menilai, seharusnya para anggora DPR tidak menjadi antikritik. Bahkan, kalaupun diperolok publik, hal itu bisa dijawab secara elegan.
"Kalau (DPR) enggak mau diolok-olok, gampang, kerja yang benar. Itu akan menjadi jawaban terbaik dari semua olok-olok yang ada," ujar Arief dalam acara diskusi di Jakarta, Selasa (13/2/2018).
Arif mengingatkan, tidak semua kritik lantas membuat seseorang atau lembaga, bahkan negara, menjadi hina.
(baca: Tak Dipanggil "Yang Terhormat", Politisi PDI-P Protes Pimpinan KPK)
Ia mencontohkan, betapa masif kritik dan olok-olok publik kepada Presiden AS Donald Trump, mulai dari gaya rambut hingga keluarga Trump.
Namun, hal itu dinilai tidak membuat kehormatan AS sebagai negara jatuh.
Menurut Arif, kritik dan olok-olok publik kepada anggora DPR bisa jadi bersumber dari anggota DPR itu sendiri.
Hal itu, menurut dia, merupakan konsekuensi logis sebagai figur yang dikenal oleh publik.
"Enggak perlu memenjarakan orang karena orang mengolok-olok Anda. Kerja yang benar, berikan kesejahteraan untuk rakyat, lalu cerita selesai," kata dia.
"Dengan itu, anggota DPR justru memiliki pelung besar untuk dipilih kembali lima tahun ke depan tanpa harus memenjarakan orang," sambung Arif.
https://nasional.kompas.com/read/2018/02/13/18580711/kalau-dpr-enggak-mau-diolok-olok-kerja-yang-benar