"Institusi Polri ini salah satu lembaga superbody. Bisa melakukan penyadapan dan akan sangat berbahaya jika diberikan jabatan sipil," kata Mustafa, di Kantor Sekretariat Iluni Universitas Indonesia, Jakarta, Kamis (1/2/2018).
Menurut dia, perwira Polri seharusnya tak diberikan kesempatan menduduki jabatan sipil, meski dalam waktu singkat.
"Akan sangat berbahaya jika dia (Polisi) menduduki jabatan sipil meski dalam rentang waktu yang cukup singkat," kata Mustafa.
Alasannya, Polri punya struktur dari pusat sampai ke bawah sehingga mampu mengkondisikan, melakukan sesuatu yang dikhawatirkan bisa menciderai demokrasi.
"Dia bisa menggerakkan di bawahnya melakukan apapun yang nantinya bisa dikatakan menciderai demokrasi," kata dia.
Oleh karena itu, anggota Polri yang terlibat politik harus mundur terlebih dulu dari institusinya.
"Polisi jelas harus netral, bila dia duduki jabatan publik harus munndur dulu, melepaskan tugas dan kewajibannya sebagai anggota kepolisian. Baru setelah itu dia bisa duduk sebagai pejabat publik," kata dia.
"Kalau di luar negeri, polisi aktif baru bisa terjun politik setelah dia tak aktif lagi dua tahun. Dua tahun itu dia dianggap dia terputus pengaruhnya kepada bawahannya. Di kita hanya diatur anggota Polri bisa mundur untuk duduki jabatan publik tapi tak ada batas waktunya," papar Mustafa.
Mustafa juga mendesak Presiden RI Joko Widodo tak menyetujui usulan perwira aktif Polri untuk ditempaykan sebagai penjabat gubernur.
"Presiden harus tolak dan tidak terbitkan surat tugas kepada penjabat gubernur dari Polri. Kita harus jaga semangat reformasi. Saya khawatir ini ditarik untuk Pemilu 2019. Jangan-jangan Wapres nanti dari Polri," kata dia.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengusulkan Asisten Operasi (Asops) Kapolri, Inspektur Jenderal Pol Mochamad Iriawan menjadi Penjabat Gubernur Jawa Barat.
Sedangkan Kepala Divisi Propam Polri Inspektur Jenderal Pol Martuani Sormin diusulkan sebagai Penjabat Gubernur Sumatera Utara.
Keduanya akan mengisi kekosongan jabatan karena masa jabatan dua gubernur di daerah tersebut berakhir pada Juni 2018.
Di saat yang bersamaan, belum ada gubernur baru yang menggantikan karena pilkada di dua daerah itu baru dimulai pada akhir Juni.
Namun, usulan tersebut menuai polemik karena dianggap dapat mengganggu netralitas TNI/Polri di Pilkada.
Mendagri beralasan, penunjukan jenderal aktif ini karena wilayah Sumatera Utara dan Jawa Barat memiliki potensi kerawanan jelang pilkada.
Tjahjo mencontohkan, pada Pilkada 2017, ada dua daerah yang dianggap rawan, yakni Provinsi Aceh dan Sulawesi Barat.
Kemendagri saat itu menunjuk penjabat gubernur dua daerah tersebut dari kalangan TNI-Polri.
Di Aceh, penjabat gubernurnya adalah Mayjen TNI (Purn) Soedarmo yang menjabat Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri.
Sementara itu, di Sulbar, penjabat gubernurnya adalah Irjen Carlo Brix Tewu. Saat itu, Carlo menjabat Plh Deputi V Bidang Keamanan Nasional Kemenko Polhukam dan Staf Ahli Bidang Ideologi dan Konstitusi Kemenko Polhukam.
https://nasional.kompas.com/read/2018/02/01/19124401/pemerintah-diingatkan-bahaya-penempatan-perwira-aktif-polri-sebagai-pejabat