Hasil survei Januari 2018 belum bisa menjadi patokan siapa yang bakal terpilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Selatan 2018-2023.
Ray berpendapat demikian, sebab biasanya responden menjawab lebih jujur ketika disurvei. Mereka bisa berfikir dan menilai secara rasional.
"Tetapi di TPS itu bisa beda. Apalagi masih jauh, lima-enam bulan ke depan," kata Ray dalam paparan survei, Kamis (1/2/2018).
Pilihan responden di TPS, kata Ray, bisa jadi berubah karena pengaruh politik uang, intimidasi, atau pengaruh ASN.
Ray mengatakan, ketika pengaruh-pengaruh seperti ini belum masuk, responden biasanya mengatakan, mereka akan memilih kandidat berdasarkan visi-misinya atau rekam jejaknya.
"Itu yang kadang-kadang membuat kita terkejut-kejut. Orang yang jelas-jelas tidak punya prestasi, bisa menang juga," kata Ray.
"Kan kita tidak menduga Anies menang. Padahal kita lihat yang kuat persaingannya adalah Ahok dan AHY," imbuhnya mencontohkan Pilkada DKI Jakarta.
Lebih lanjut Ray mengatakan, jelang Pilkada Serentak 2018, banyak potensi aksi intimidasi untuk memenangkan calon tertentu.
Bentuk intimidasinya pun semakin beragam, dan tidak melulu berupa ancaman penurunan jabatan atau mendatangi rumah korban.
"Intimidasi yang populer setahun ini adalah melalui jargon agama," ucap Ray.
"Seperti tidak diperbolehkan sholat di lingkungan rumah sendiri. Kalau kasus di Jakarta itu lebih brutal lagi dia. (Jenazah) Tidak disholatkan. Ini intimidasi," katanya lagi.
https://nasional.kompas.com/read/2018/02/01/15201441/hasil-pilkada-bisa-berbeda-dari-survei-ini-kata-pengamat