Ia menyinggung putusan praperadilan pertama yang mereka ajukan pada akhir September 2017.
Dalam putusannya, hakim tunggal praperadilan Cepi Iskandar mengabulkan sebagian permohonan Ketua DPR itu.
"Menyatakan penetapan tersangka Setya Novanto tidak sah dan memerintahkan termohon untuk menghentikan penyidikan dengan Sprindik yang dikeluarkan tanggal 17 Juli 2017," ujar Ketut, dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (7/12/2017).
Baca: Hakim Kasus Novanto Sebut Praperadilan Gugur Setelah Dakwaan Dibacakan
Pada 10 November 2017, KPK kembali menetapkan Novanto sebagai tersangka.
Ketut menganggap, penetapan tersebut menentang putusan hakim tunggal praperadilan sebelumnya. Menurut dia, penetapan tersangka Novanto tidak sah dan tidak berdasar hukum karena sudah ada putusan berkekuatan hukum sebelumnya.
"Karena yang jadi dasar penetapan tersangka adalah objek yang sama, subjek yamg sama, proses yang sama, barang bukti yang sama, dan sangkaan pidana yang sama pula," kata Ketut.
Selebihnya, poin-poin gugatan Novanto dalam sidang praperadilan kali ini sama dengan permohonan dalam praperadilan sebelumnya.
Novanto masih menganggap KPK menetapkan tersangka tanpa terlebih dulu melakukan penyidikan.
Ketut mengatakan, penyidikan dilakukan untuk mencari peristiwa pidana dan mengumpulkan alat bukti untuk menetapkan tersangka.
Jika penetapan tersangka dilakukan sebelum proses penyidikan, kata dia, maka KPK tak memiliki dua alat bukti yang cukup.untuk menjerat kliennya.
"Penetapan tersangka tersebut menyalahi ketentuan KUHAP dan UU KPK sehingga seharusnya batal demi hukum," kata Ketut.
Ketut juga membantah tuduhan KPK bahwa Novanto melakukan pidana korupsi bersama-sama tersangka lain, yakni dua mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri Irman dan Sugiharto, pengusaha Andi Narogong, dan Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudiharjo.
Novanto juga tidak disebut majelis hakim sebagai pihak yang menerima keuntungan berupa uang.
Pengacara juga menepis anggapan bahwa kliennya telah menyalahgunakan wewenangnya sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar kala itu untuk mengatur proses pembahasan e-KTP di DPR RI.
Menurut Ketut, Novanto sebagai Ketua Fraksi tidak memiliki kuasa untuk mengatur anggaran maupun menggolkan proyek.
"Dengan demikian penetapan tersangka atas dasar asumsi tanpa proses penyidikan menurut hukum," kata Ketut.
Ketut menilai, secara jelas terlihat bahwa penetapan kembali Novanto sebagai tersangka sangat dibuat-buat, tidak profesional, dan prematur.
Dengan demikian, penetapannya bertentangan dengan aturan yang berlaku dan cacat hukum.
"Maka penetapan tersangka nyata-nyata tidak didasari alat bukti apapun sehingga syarat bukti permulaan cukup dan dua alat bukti yang sah tidak terpenuhi," kata Ketut.
https://nasional.kompas.com/read/2017/12/07/12471091/pengacara-singgung-putusan-praperadilan-yang-gugurkan-status-tersangka