Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Jember Bayu Dwi Anggono mengatakan, dampak dari berlebihnya regulasi itu adalah terhambatnya percepataan pembangunan dan peningkatan pelayanan publik.
"Birokrasi menjadi panjang, peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lain tidak harmonis, tidak sinkron dan saling tumpang-tindih," kata Bayu, dalam diskusi di Jember, Jawa Timur, Jumat (10/11/2017).
Menurut Bayu, persoalan pembentukan regulasi tersebut tak terkendali, mulai dari undang-undang (UU), peraturan pemerintah (PP), peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu), peraturan presiden (perpres), hingga peraturan menteri (Permen).
"Tersebar baik instansi di pusat maupun daerah," kata dia.
Padahal kata dia, Presiden Joko Widodo sejak awal telah menyadari gejala obesitas regulasi tersebut dengan menginstruksikan semua kementerian/lembaga/pemerintah daerah agar tak membuat aturan yang tidak diperlukan.
"Tapi instruksi Presiden tersebut ternyata belum sepenuhnya efektif. Kementerian/lembaga serta Pemda masih ambisius untuk membentuk peraturan perundang-undangan," kata Bayu.
Tak hanya itu, langkah untuk menekan banyaknya regulasi itu, telah dilakulan Kementerian Dalam Negeri pada 2016. Ketika itu, ada 3.143 Peraturan Daerah (Perda) bermasalah yang dibatalkan.
Ini termasuk upaya Jokowi yang meminta para menteri lebih dulu berkoordinasi dalam rapat terbatas (ratas) kabinet sebelum menerbitkan Permen yang berdampak luas ke masyarakat.
"Namun, nyatanya berbagai upaya Pemerintah dalam melakukan penataan regulasi belum mampu menyelesaikan sumber masalah," ucap Bayu.
Di hulu penataan regulasi bisa dilakukan dengan mempersempit ruang pembentukan peraturan perundang-undangan yang tidak terkendali seperti peraturan menteri.
"Caranya seperti halnya PP dan perpres. Setiap rancangan permen harus melalui proses harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM RI," kata dia.
Sedangkan di hilir, meminta masing-masing kementerian untuk mengevaluasi peraturan perundang-undangan yang telah dibentuk atau executive review.
"Meski kalau kemudian dengan sadar mencabutnya sendiri rasanya sulit dilakukan," kata dia.
Bahkan, kata Bayu, Jokowi juga perlu memikirkan opsi pembentukan tim khusus yang bersifat adhoc, dikoordinasikan oleh Kementerian Hukum dan HAM untuk melakukan penataan regulasi.
Model penataan regulasi melalui tim khusus tersebut, kata Bayu, lazim diterapkan di banyak negara.
"Jadi melakukan evaluasi peraturan perundang-undangan tingkat pusat di bawah UU untuk kemudian memberikan rekomendasi pencabutan kepada Presiden terhadap regulasi yang terbukti bermasalah," ujar Bayu.
Konferensi nasional
Bayu menambahkan, guna membahas dan mencari solusi secara akademik atas permasalahan regulasi tersebut, pihaknya pun menggelar Konferensi Nasional Hukum Tata Negara (KNHTN) 2017.
Acara KNHTN ke-4 itu bekerja sama dengan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) bekerja sama dengan Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas dan Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Jember.
Bertema "Penataan Regulasi di Indonesia", kegiatan itu digelar di Hotel Aston Jember, 10-12 November 2017. Kurang lebih akan ada 600 peserta dari seluruh Indonesia.
KNHTN-4 ini juga akan dihadiri Kepala Staf Kepresidenan, Teten Masduki, Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Hamongan Laoly, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD dan sejumlah tokoh lainya.
https://nasional.kompas.com/read/2017/11/10/19062511/ada-62000-aturan-indonesia-dianggap-obesitas-regulasi