Aturan restitusi itu terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana.
Restitusi yang dimaksud yaitu pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil atau immaterial yang diderita korban atau ahli warisnya.
Peneliti ICJR Maidina Rahmawati mengatakan, salah satu kelebihan PP ini adalah mendorong partisipasi penegak hukum dalam terlaksananya restitusi bagi korban.
"Selama ini umumnya, aparat penegak hukum tidak terlalu mendorong pelaksanaan restitusi, kecuali dalam hal restitusi tindak pidana perdagangan orang (TPPO)," ujar Maidina melalui keterangan tertulis, Selasa (24/10/2017).
"Butuh dorongan yang kuat untuk meningkatkan minat aparat penegak Hukum dalam memfasilitasi restitusi korban," ujar dia.
Dalam Pasal 9 dan Pasal 14 diatur ketentuan bahwa penyidik dan penuntut umum dapat memberitahukan hak mengajukan restitusi kepada korban.
Semestinya, kata Maidina, aturan tersebut mewajibkan penyidik dan penuntut umum untuk memberitahukan hak ini kepada korban.
PP ini juga mengatur tentang teknis pelaksanaan restitusi yang dilakukan oleh jaksa. Di samping itu, PP ini juga memberikan mandat yang kuat kepada Lembaga perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk membantu menilai kerugian yang dimohonkan.
"Diharapkan regulasi ini akan menutup celah kosong pelaksanaan restitusi atau ganti kerugian bagi korban tindak pidana anak yang dibebankan kepada pelaku," kata Maidina.
Pemberian restitusi tersebut, kata Maidina, juga dimaksudkan untuk meringankan penderitaan dan menegakkan keadilan bagi anak yang menjadi korban.
Permohonan restitusi kepada pengadilan dapat diajukan kepada penyidik dalam tahap penyidikan ataupun kepada penuntut umum pada tahap penuntutan. Permohonan restitusi juga dapat diajukan melalui LPSK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Meski begitu, ICJR juga memberi sejumlah catatan dalam PP tersebut. Pertama, syarat administratif permohonan restitusi anak korban cukup membebani pihak korban dan keluarganya. Sebab, biaya tersebut ditanggung oleh korban.
"Hal tersebut seharusnya difasilitasi oleh aparat penegak hukum," kata Maidina.
Kedua, dalam praktik saat ini, tidak ada jaminan bahwa restitusi bisa segera dibayarkan kepada korban. Biasanya, yang terjadi adalah bahwa pelaku tidak mau membayar dan tidak sanggup membayar.
Dalam monitoring ICJR, sangat jarang pelaku mau membayarkan restitusi. Mecuali dalam kasus TPPO karena ada mekanisme pemaksa yang dapat diberikan kepada pelaku. Misalnya, dengan perampasan aset.
"Sedangkan dalam restitusi di luar TPPO, umumnya pelaku yang tidak mau membayar hanya dikenakan pidana subsider penjara dua bulan hingga tiga bulan," kata dia.
ICJR merekomendasikan agar pemerintah segera mengefektifkan sosialisasi PP ini kepada korban dan keluarga korban di seluruh wilayah Indonesia.
Dengan demikian, akses atas restitusi ini dapat diketahui oleh korban dan keluarga korban yang saat ini kasusnya sedang disidik kepolisian ataupun dalam proses penuntutan ataupun kasus yang sudah diputus.
"Mendorong aparat penegak hukum aktif dan responsif dalam mendukung permohonan korban atas hak restitusi dan harus memfasilitasi kebutuhan korban khususnya dalam administrasi permohonan," kata Maidina.
https://nasional.kompas.com/read/2017/10/24/12434251/penegak-hukum-didorong-optimalkan-restitusi-pada-korban-anak