Sidang digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat.
Dalam persidangan, salah satu hal yang disoroti adalah soal tidak bolehnya pembatalan keberangkatan dilakukan oleh calon jemaah, terkecuali dalam keadaan khusus atau tertentu. Misalnya, sakit atau meninggal.
Ahli hukum keuangan negara yang dihadirkan oleh pihak pemerintah, Siswo Sujanto, berpendapat, aturan tersebut diterapkan untuk menghindari kekacauan administratif.
Sebab, jika persoalan administratif bermasalah, bisa berdampak pada penyelenggaraan haji secara keseluruhan.
"Saya yakin itu akan menjadi kekacauan administrasi yang luar biasa," kata Siswo, dalam persidangan.
Pada persidangan sebelumnya, Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umroh (Dirjen PHU) Kementerian Agama Nizar Ali mengatakan, antusiasme masyarakat yang ingin melaksanakan ibadah haji terus meningkat.
Per 30 Juni 2017, calon jemaah yang telah membayar setoran awal Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) sebanyak 3.348.501 nama.
Sementara, yang telah membayar setoran lunas tunda sebanyak 222.481 nama.
Menurut Siswo, jika aturan tidak dapat membatalkan tidak diterapkan, maka Kementerian Agama akan kesulitan menyelenggarakan ibadah haji yang optimal karena energinya tersita untuk mengurusi soal pendaftaran dan pembatalan calon jamaah.
"Banyak orang yang mendaftar dan kemudian pada suatu saat sekian banyak lagi mencabut pendaftaran itu dengan menarik uangnya. Kemudian, pada suatu saat dia mendaftar lagi, sehingga akan terjadi daftar tarik ulur, Ini menimbulkan sebuah kekacauan secara administrasi," kata Siswo.
Oleh karena itu, tambah Siswo, setiap kali masyarakat mendaftarkan diri menjadi calon jemaah haji, maka petugas telah menegaskan bahwa pembatalan tidak dilakukan kecuali dalam keadaan khusus seperti sakit atau meninggal dunia.
Ditemui setelah persidangan, Siswo menambahkan, aturan itu juga untuk mengantisipasi sikap oportunis masyarakat yang tujuannya hanya mencari keuntungan.
Dalam proses penyelenggaraan haji, uang yang telah disetorkan oleh calon jemaah haji akan dikelola oleh pemerintah selaku penyelenggara dengan cara diinvestasikan ke beberapa produk investasi. Tujuannya, memperbaiki fasilitas penyelenggaraan haji.
Jika calon jemaah membatalkan keberangkatannya, maka uang yang telah disetorkan akan dikembalikan.
Menurut Siswo, pengembalian termasuk juga hasil dari dari investasinya.
Di sisi lain, investasi yang dilakukan pemerintah hanya pada produk investasi yang minim risiko. Jika ada kerugian dari investasi tersebut, maka menjadi tanggung jawab pemerintah.
"Kalau Anda naruh saham aja bisa turun, kalau ini tidak mungkin karena ditanggung oleh negara. Enak banget toh? Oleh karena itu di satu sisi maka negara melarang pembatalan kecuali alasan tertentu. Bayangin saja jika seseorang investasi tiga tahun terus ditarik, untung kan. Bayangin kalau semua orang lakukan itu, babak belur kan negara," kata dia.
Sebelumnya, seorang warga bernama Soleh mengajukan uji materi ke MK, pada Rabu (23/7/2018).
Ia menggugat Pasal 24 Huruf a, Pasal 46 Ayat 2, Pasal 48 Ayat 1 UU Pengelolaan Keuangan Haji.
Pada intinya, pemohon menilai, pengelolaan keuangan haji yang dilakukan pemerintah dengan mengalihkannya ke investasi tidak tepat dan berpotensi menimbulkan kerugian konstitusional. Sebab, investasi dalam bentuk apa pun memiliki risiko kerugian.
https://nasional.kompas.com/read/2017/10/18/15421821/kenapa-calon-jemaah-haji-diimbau-tidak-membatalkan-keberangkatannya