Salin Artikel

Soal "Pribumi", Politik Identitas, dan Nurani Para Politisi

Menurut Wiranto, menjelang Pilkada 2018 dan Pilpres 2019, penyebaran ujaran kebencian, propaganda politik dan kampanye hitam melalui dunia maya akan menjadi alat untuk meraih kekuasaan.

"Menjelang 2018 dan 2019, kita akan memasuki tahun politik. Pilkada, pemilu legislatif dan pemilu presiden langsung. Selama itu, radikalisme dalam bentuk ujaran kebencian bercampur dengan propaganda politik dan kampanye hitam akan digunakan sebagai alat meraih kekuasaan," ujar Wiranto.

"Tentunya hal itu mengancam kedamaian dan pluralisme kehidupan masyarakat Indonesia," ujar dia.

Baca: Radikalisme dan Politik Identitas

Wiranto menilai, meningkatnya suhu politik merupakan hal yang wajar karena banyak pihak yang akan berkompetisi.

Para pihak tersebut akan melakukan berbagai upaya agar pasangan calon yang diusung dalam pemilu menjadi populer di tengah masyarakat.

Akan tetapi, seringkali cara-cara yang digunakan tidak terkontrol dengan baik, bahkan melanggar hukum.

"Saya mengatakan hati-hati jangan dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok yang radikal untuk membangun suatu kebencian, membangun kecurigaan, membangun konflik satu dengan yang lain," kata Wiranto.

Terkait hal itu, lanjut Wiranto, pemerintah berharap masyarakat sipil berperan untuk mengantisipasi berkembangnya radikalisme dalam berbagai bentuk.

Ia menegaskan pemerintah sangat terbuka terhadap masukan dari masyarakat untuk menanggulangi radikalisme dan ekstremisme.

Baca: Anies Baswedan Diminta Tak Bermain Politik Identitas

Pernyataan Wiranto tersebut dikuatkan oleh pendapat peneliti Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Nahdlatul Ulama (NU) Sa'duddin Sabilurrasad. 

Menurut dia, tidak dipungkiri politisasi agama kental terasa, terutama pada masa Pilkada DKI 2017 lalu.

"Pada prinsipnya agama memang, terutama dalam pilkada DKI kemarin, dijadikan komoditas politik yang paling kuat," ujar Sa'duddin saat ditemui dalam sebuah diskusi di Megawati Institute, Jakarta Pusat, Selasa (17/10/2017).

Sa'duddin menjelaskan, fenomena isu agama dijadikan komoditas politik karena ada dua preferensi politik identitas yang dianut oleh masyarakat.

Mereka cenderung memilih pemimpin berdasarkan kesamaan identitas, yakni kesamaan suku atau agama.

Politik identitas, menurut dia, sah saja dilakukan. Namun, hal itu menjadi berbahaya saat politik identitas, khususnya terkait agama, mengekslusi keyakinan yang lain.

Baca: Sehari Jadi Gubernur DKI, Anies Baswedan Dilaporkan ke Polisi karena Kata Pribumi

Sa'duddin menyayangkan munculnya polemik soal "pribumi" dan "non-pribumi" akibat pidato Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di Balai Kota, usai pelantikan, Senin lalu.

Menurut dia, pernyataan pribumi dan non pribumi itu sudah mengarah pada eksklusivitas dan membahayakan keragaman di tengah masyarakat.

"Memang harus dibendung dengan cara edukasi. Dampak merusak yang direproduksi berulang kali itu berpengaruh ke seluruh lapisan masyarakat. Saya kira itu peringatan untuk kita semua," kata Sa'duddin.

"Para politisi yang menggunakan politik identitas itu biasanya tidak memiliki kinerja atau hasil kerja yang bisa dinilai baik maka jualannya ya isu identitas," ujar dia.

Membangun perspektif perdamaian

Akan tetapi, ujaran kebencian dan politisasi SARA dalam kontestasi politik perlu diredam untuk mencegah terjadinya polarisasi masyarakat.

Menurut Presiden The Asian Muslim Action Network (AMAN Indonesia) Azyumardi Azra, hal itu bisa dilakukan dengan menerapkan konsep peace building atau membangun perspektif perdamaian di kalangan para politisi dan masyarkat.

Baca: Soal Istilah Pribumi, Apa Kata Jokowi?

Penerapan konsep peace building melalui pendekatan agama sangat mungkin dilakukan oleh organisasi kemasyarakat yang moderat seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.

"Saya kira ada metode-metodenya dalam rangka membangun peace building melalui pendekatan keagamaan. Jadi peace building through religious approcah itu bisa dilakukan, saya kira di Indonesia sangat penting," ujar Azyumardi saat ditemui di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat, Senin (16/10/2017).

"Katakanlah NU, Muhammadiyah dan MUI melakukan workshop atau training mengenai peace building melalui keagamaan. Misalnya,bagaimana kalau berceramah itu lebih menekankan ke dalam perdamaian, daripada misalnya memprovokasi jemaah," ujar dia.

Azyumardi berharap, para politisi tidak menggunakan isu agama sebagai salah satu bahan dalam kampanyenya.

Hal itu dilakukan untuk meminimalisasi maraknya penyebaran ujaran kebencian dan berita bohong menjelang tahun politik 2018-2019.

Azyumardi menegaskan, isu agama yang dipolitisasi berpotensi menimbulkan konflik di tengah masyarakat.

"Sebaiknya para politisi dalam kampanyenya janganlah membawa-bawa agama, nanti bisa dipelintir ke sana sini. Apalagi kalau misalnya kepleset lalu dipelintir. Jadi janganlah, karena isu agama itu bisa eksplosif,"  kata dia.

"Jadi, saya kira kuncinya para politisi ini agar lebih bijak, jangan membawa-bawa agama, apalagi kalau dia dari agama yang lain. Karena itu mereka harus diketuk hati nuraninya," ujar mantan rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.

https://nasional.kompas.com/read/2017/10/18/12573561/soal-pribumi-politik-identitas-dan-nurani-para-politisi

Terkini Lainnya

Soal 'Presidential Club', Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Soal "Presidential Club", Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Nasional
Tanggapi Isu 'Presidential Club', PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Tanggapi Isu "Presidential Club", PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Nasional
Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

Nasional
Golkar: 'Presidential Club' Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Golkar: "Presidential Club" Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Nasional
Jokowi Diprediksi Gandeng Prabowo Buat Tebar Pengaruh di Pilkada 2024

Jokowi Diprediksi Gandeng Prabowo Buat Tebar Pengaruh di Pilkada 2024

Nasional
Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

Nasional
Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di 'Presidential Club'

Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di "Presidential Club"

Nasional
Sebut SBY Setuju Prabowo Bentuk 'Presidential Club', Demokrat: Seperti yang AS Lakukan

Sebut SBY Setuju Prabowo Bentuk "Presidential Club", Demokrat: Seperti yang AS Lakukan

Nasional
Jokowi Diperkirakan Bakal Gunakan Pengaruhnya di Pilkada Serentak 2024

Jokowi Diperkirakan Bakal Gunakan Pengaruhnya di Pilkada Serentak 2024

Nasional
Soal Kemungkinan Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin: Kita Lihat pada 20 Oktober

Soal Kemungkinan Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin: Kita Lihat pada 20 Oktober

Nasional
Kementerian PPPA Akan Dampingi Anak Korban Mutilasi di Ciamis

Kementerian PPPA Akan Dampingi Anak Korban Mutilasi di Ciamis

Nasional
'Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya'

"Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya"

Nasional
Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

Nasional
Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

Nasional
Halal Bihalal Akabri 1971-1975, Prabowo Kenang Digembleng Senior

Halal Bihalal Akabri 1971-1975, Prabowo Kenang Digembleng Senior

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke