Di beberapa negara bahkan masih terjadi marginalisasi terhadap pemeluk agama minoritas.
Peran jurnalis kemudian menjadi amat penting agar isu agama tak menjadi komoditas kelompok-kelompok tertentu, namun menambah persatuan.
"Jurnalisme agama ini paling tidak walaupun belum bisa secara faktual mempersatukan tapi menambah, meningkatkan saling pengertian," kata Rektor Universitas Multimedia Nusantara (UMN), Dr. Ninok Leksono di sela konferensi jurnalis agama: Meliput Agama Di Asia, di Kampus UMN, Tangerang, Selasa (17/10/2017).
Sejumlah jurnalisme agama di Asia berkumpul dalam sebuah konferensi jurnalisme agama di Kampus UMN.
Mereka menyampaikan kondisi masing-masing negara serta tantangan dalam melakukan peliputan.
Di Indonesia, mayoritas masyarakat beragama Islam. Hal berbeda terjadi di negara-negara Asia lainnya, di mana Islam justru menjadi minoritas di antara pemeluk hal lainnya.
Menghadapi tahun-tahun politik ke depan, Ninok berharap jurnalis bisa dengan bijak dalam menulis berita soal agama. Pasalnya, politisasi agama bisa menorehkan luka yang cukup mendalam.
"Mudah-mudahan semua pihak bisa belajar memetik hikmah dan pengalaman dari apa yang terjadi. Supaya masalah-masalah yang diangkat benar-benar merujuk pada esensi masalah yang dihadapi bangsa," tuturnya.
Salah satu pembicara dalam rangkaian acara konferensi, Citra Dyah Prastuti (KBR 68H), menyampaikan bahwa jurnalis harus dapat menjelaskan tentang duduk perkara tertentu.
Sebab, masyarakat kerap memberi stigma pada kelompok-kelompok agama tertentu tanpa mengetahui secara mendalam.
Media, kata dia, harus bisa memberikan perspektif yang mencerahkan.
"Kadang-kadang kita memberikan stigma karena kita tidak tahu kelompok itu atau isu itu," ujar Citra.
Pembicara lainnya, Uday Basu (The Statesman, India) menuturkan bahwa media harus dapat memberikan peliputan yang baik dan dapat memberikan informasi yang lengkap kepada masyarakat. Termasuk dalam konteks peliputan isu agama.
"Kita bisa kontak pemuka agamanya dan mewawancarainya untuk mendapatkan hasil peliputan yang baik,", tuturnya.
Kisah lainnya diungkapkan jurnalis lepas asal Filipina, Isabel Templo. Di negaranya, kata Isabel, penganut Katolik sangat dominan dengan angka mencapai 80 persen penduduk. Peran gereja sangat dominan di sana.
Isabel kemudian berbagi pengalamannya meliput. Para pemuka agama, menurut dia, sangat terbuka untuk diwawancarai.
Ia pun mengaku tak ada kesulitan akses dalam meliput isu agama. Hanya saja, para jurnalis harus bisa menyesuaikan diri saat bergabung pada kelompok tertentu.
Misalnya, kata Isabel, saat mewawancarai Imam (pemuka agama Islam), ia mengenakan scarf. Sebab, dalam Islam, perempuan mengenakan kain untuk menutupi auratnya.
"Saat interview, pastikan menggubakan scarf karena sangat sensitif. Mereka tahu aku Kristen, itu tidak masalah," kata Isabel.
https://nasional.kompas.com/read/2017/10/17/13543831/jurnalis-agama-diharapkan-berperan-mempersatukan