Salin Artikel

Masyarakat Diminta Tak Terprovokasi Kelompok yang Manfaatkan Isu Rohingya

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj, salah satu anggota solidaritas, mengatakan, ang dialami warga Rohingya merupakan tragedi kemanusiaan, bukan konflik antara muslim dan penganut agama Budha.

"Apa yang terjadi di sana adalah tragedi kemanusiaan. Kita harus meletakkannya dalam kacamata kemanusiaan tanpa pernah tersekat dan terkotak oleh keyakinan tertentu," ujar Said saat memberikan keterangan pers di gedung PBNU, Jakarta Pusat, Jumat (22/9/2017).

Said menuturkan, tragedi kemanusiaan di Rakhine lebih kompleks dari hanya sekadar isu konflik antar-agama. Menurut Said, di Rakhine terdapat konflik kepentingan berupa perebutan sumber daya dan juga persoalan politik.

(Baca: BNPT: Konflik Rohingya Bisa Jadi Magnet untuk Kelompok Teroris)

"Maka yang paling tepat adalah mendudukan tragedi Rohingya sebagai tragedi kemanusiaan," kata Said.

Hal senada juga diungkapkan Ketua Umum Parisadha Buddha Dharma Niciren Syosyu Indonesia (NSI) Suhadi Sendjaja. Menurut dia, tidak dipungkiri ada yang pihak-pihak yang mendorong, seolah-olah tragedi Rohingya merupakan konflik antar-agama.

"Yang selalu kita jaga dari 2012, ini bukan konflik antara Budha dan Islam karena saat ini ada upaya untuk mendorong ke arah situ," ujar Suhadi.

Oleh sebab itu, Suhadi berharap masyarakat mampu menyaring informasi yang beredar terkait tragedi Rohingya yang beredar di media sosial. Selain itu, dia juga meminta masyarakat tidak terprovokasi.

"Saya berharap masyarakat menyaring info yang beredar dan tidak terprovokasi," kata Suhadi.


Kepentingan politik dan ekonomi

Sementara itu, dikutip dari situs berita Deutsche Welle, Kepala Bidang Penelitian pada South Asia Democratic Forum (SADF) Siegfried O. Wolf berpendapat, krisis yang dialami warga Rohingya lebih bersifat politis dan ekonomis.

Siegfried menuturkan, komunitas warga Rakhine yang beragama merasa didiskriminasi secara budaya, juga tereksploitasi secara ekonomi dan disingkirkan secara politis oleh pemerintah pusat, yang didominasi etnis Burma.

Di sisi lain, warga Rohingya dianggap warga Rakhine sebagai saingan tambahan dan ancaman bagi identitas mereka sendiri.

Selain itu, kelompok Rakhine merasa dikhianati secara politis, karena warga Rohingnya tidak memberikan suara bagi partai politik mereka.

(Baca: Said Aqil: Pemerintah Cepat Tanggap Bantu Rohingya, Bukan Pencitraan)

"Ini menyebabkan tambah runcingya ketegangan. Sementara itu, pemerintah tidak mendorong rekonsiliasi, melainkan mendukung fundamentalis Buddha dengan tujuan menjaga kepentingannya di kawasan yang kaya sumber alam tersebut," ujar Siegfried.

Rohingya merupakan salah satu suku minoritas di Myanmar. Mereka telah menetap di negara itu selama beberapa generasi, tepatnya di wilayah negara bagian, Rakhine. Namun, Pemerintah Myanmar menolak mengakui mereka sebagai warga negaranya. Alih-alih, mereka menyebut Rohingya adalah imigran muslim ilegal asal Banglades.

Kekerasan yang dialami Warga Rohingya semakin menjadi-jadi sejak junta militer menguasai Myanmar mulai era 1960-an. Lalu, pada 1982, terbit Burma Citizenship Law, yang tak memasukkan Rohingya sebagai warga negaranya. Burma adalah nama lama Myanmar hingga berubah pada 1989.

Di Myanmar, Rohingya kerap dianggap bagian dari suku Bengali—wilayah Banglades—karena pada 1960-an suku ini pernah mengungsi massal ke wilayah Bengali akibat represi militer.

Namun, tudingan bahwa Rohingya sejatinya orang Bengali pun tak sejalan dengan sikap Pemerintah Banglades. Negara ini pun tak mau menyambut orang Rohingya sebagai warga negaranya, meski menampung seribuan pengungsi dari suku tersebut.

https://nasional.kompas.com/read/2017/09/22/18333591/masyarakat-diminta-tak-terprovokasi-kelompok-yang-manfaatkan-isu-rohingya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke