Sorotan diberikan terutama terhadap draf yang dikeluarkan oleh Badan Legislatif DPR RI.
Menurut Nina, poin-poin di dalamnya justru memfasilitasi apa saja yang diperjuangkan oleh media-media yang mengedepankan kepentingan industri dalam penyiaran.
ee ujar Nina dalam diskusi di Jakarta, Minggu (17/9/2017).
Nina mengatakan, dari sejak disusun di Komisi I, pembahasan revisi tersebut sangat tertutup. Kemudian, Komisi I menyerahkan draf revisi ke Baleg DPR RI.
Masalahnya, kata Nina, poin-poin yang disusun dalam draf Komisi I banyak diubah oleh Baleg.
"Jadi kami lihat ada kesamaan yang sangat banyak antara apa yang diperjuangkan, yang diminta ATVSI (Asosiasi Televisi Swasta Indonesia) dengan draf Baleg," kata Nina.
Adapun poin-poin yang dikritisi antara lain diubahnya sistem digitalisasi televisi dengan konsep single mux operator dan penetapan Lembaga Penyiaran Publik Radio Televisi Republik Indonesia (LPP RTRI) sebagai satu-satunya penyelenggara penyiaran multipleksing digital.
Namun, ATVSI menentang konsep yang saat ini tertera dalam undang-undang yang berlaku saat ini. Asosiasi tersebut ingin konsep multi-mux operator diberlakukan.
"Dan itu (multi mux) ada di draf Baleg," kata Nina
Kemudian, dalam draf Komisi I melarang penayangan iklan rokok. Tiba-tiba dalam draf Baleg dimunculkan bahwa iklan rokok boleh ditayangkan, namun dengan batasan.
Hal tersebut sesuai dengan permintaan ATVSI yang menentang penghilangan iklan rokok. (Baca: ATVSI Minta Iklan Rokok Cukup Dibatasi, Bukan Dilarang)
Selain itu, kata Nina, pihaknya juga mengkritisi soal usulan kuota iklan spot 30 persen dari seluruh waktu siaran per tahun. Sementara dalam draf Komisi I, kuota iklan per spotnya sebesar 30 persen per program.
Hal tersebut membuat televisi swasta mampu meraup untung besar dengan kuota iklan diperbanyak.
Draf tersebut, kata Nina, juga memangkas kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia.
"Mereka dari awal tidak mau KPI berperan besar. Mereka maunya regulatornya pemerintah, KPI hanya mengurus isi siaran," kata Nina.
Nina mengatakan, asosiasinya telah beberapa kali meminta audiensi dengan Baleg untuk membahas draf tersebut, namun tak kunjung mendapat balasan. Akhirnya, secara gerilya, mereka melakukan pendekatan ke masing-masing fraksi.
"Tidak cuma kelompok saya, berbagai kelompok lain yamg minta ketemu, tidak ada yang dijawab Baleg. Masyarakat sipil minta ketemu tidak direspons. Yamg direspons ATVSI, yang diterima yang mainstream," kata Nina.
Nina mengkhawatirkan nasib dunia penyiaran jika draf versi Baleg kemudian disahkan.
Televisi, menurut dia, sedianya mewakili hajat hidup publik. Namun, jika lembaga penyiaran dikuasai kepentingan induatri, maka hak masyarakat memperoleh siaran yang berkualitas dan layak terabaikan.
"Pengaturan isi sekarang akan berdampak pada kondisi masyarakat ke depan. Kalau tidak berpihak ke masyarakat akan menjadi seperti apa kondisinya," kata Nina.
https://nasional.kompas.com/read/2017/09/17/17272941/draf-ruu-penyiaran-dinilai-lebih-menguntungkan-industri-televisi