Menurut Hanafi, unjuk rasa merupakan bagian dari perwujudan sistem politik demokrasi, di mana negara menjamin warganya menyatakan sikap atas suatu isu yang berkembang.
Pada konteks Rohingya, unjuk rasa dinilai Hanafi sebagai bentuk keprihatinan masyarakat Indonesia terhadap tragedi yang terjadi di Myanmar.
"Banyak kelompok yang mendesak supaya pemerintah ini lebih pro aktif mendorong perdamaian dan dihapusnya diskriminasi di Myanmar," kata Hanafi di Sekretariat Ikatan Alumni Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta, Kamis (7/9/2017).
Menurut politisi Partai Amanat Nasional (PAN) tersebut, pemerintah tidak perlu khawatir adanya politisasi isu Rohingya ke Tanah Air.
Sebab, langkah pemerintah menanggapi tragedi di Myanmar dengan mengutus Menteri Luar Negeri Retno Marsudi untuk berdiplomasi dan negosiasi dengan Pemerintah Myanmar beberapa waktu lalu layak diapresiasi.
Saat itu, Indonesia menyerahkan usulan Formula 4+1 untuk Rakhine State kepada konsulat negara Myanmar.
"Saya mendukung Bu Menlu (Menteri Luar Negeri Retno Marsudi) yang responsif melakukan kunjungan diplomatik ke Myanmar dan Bangladesh, so far so good. Artinya, pemerintah sudah menyampaikan aspirasi masyarakat Indonesia yang selama ini prihatin," kata dia.
Hanya saja, menurut Hanafi, pemerintah memang perlu lebih tegas agar kejahatan kemanusiaan di Myanmar segera dihentikan.
Misalnya, dengan mengajak negara-negara lain, baik pada forum ASEAN maupun PBB, untuk mendesak Pemerintah Myanmar menghentikan penindasan dan mengakui etnis Rohingya sebagai bagian dalam konstitusinya.
Selain itu, mengusulkan kepada PBB untuk mengirimkan pasukan perdamaian ke Myanmar.
"Ini problem yang tidak sederhana. Tidak cukup dengan hanya intervensi kemanusiaan, tapi juga harus galang kekuatan kekuatan lain untuk tidak hanya intervensi tapi juga agar melakukan transformasi di Myanmar," kata dia.
https://nasional.kompas.com/read/2017/09/07/20142651/wakil-ketua-komisi-i-anggap-aksi-solidaritas-rohingya-bukan-politisasi