Alasannya, Indonesia menjadi satu-satunya negara yang memiliki akses untuk bertemu dengan Pemerintah Myanmar dan membahas persoalan Rohingya.
"Dunia saat ini berharap kepada Indonesia. Indonesia adalah harapan dunia hari ini untuk menyelesaikan konflik rohingya," ujar Daniel saat menjadi narasumber acara 'Dua Arah di Kompas TV, Rabu (6/9/2017) malam.
Baca: Suu Kyi: Simpati terhadap Rohingya Lahir dari Kampanye “Hoax”
"Ada semacam trust yang diberikan oleh pimpinan tertinggi, baik militer maupun Aung San Suu Kyi untuk menerima Menteri Luar Negeri Retno Marsudi.
"Ini kepercayaan yang sangat tinggi sekali, jangan sampai ini disia-siakan. Banyak sekali orang yang ingin masuk tapi ditolak," kata dia.
Oleh karena itu, menurut Daniel, pemerintah tidak perlu menggubris desakan sejumlah kelompok masyarakat yang meminta Indonesia memutus hubungan diplomatik dengan Myanmar.
Dia menilai, pemutusan hubungan diplomatik justru akan memperburuk situasi yang dialami warga Rohingya.
"Memutus hubungan diplomatik sama artinya dengan mengakhiri etnis Rohingya itu sendiri," kata dia.
Baca: Presiden PKS Minta Masalah Rohingya Tak Dibawa ke Tanah Air
Di sisi lain, lanjut Daniel, momen pertemuan Menlu Retno dengan Pemerintah Myanmar merupakan kesempatan bagi Indonesia untuk menunjukkan kebangkitan politik luar negeri yang berpihak pada kemanusiaan.
Pada kesempatan yang sama, anggota DPR asal Fraksi PDI-P Hamka Haq mengatakan, pemutusan hubungan diplomatik biasanya hanya terjadi antara dua negara yang berkonflik.
Sementara, kekerasan yang dialami warga Rohingya merupakan permasalahan internal Myanmar.
Hamka menyepakati adanya tekanan politik yang diberikan oleh Indonesia kepada Myanmar. Namun, pemutusan hubungan diplomatik tidak menjadi pilihan.
"Saya setuju kalau ada politics pressure tapi itu tidak akan sampai pada pemutusan hubungan diplomatik. Tragedi ini akan berlangsung terus manakala kita putus hubungan diplomatik," ujar dia.
Baca: Unggah Foto 'Hoax' Pembantaian Rohingya, Tifatul Minta MaafMenurut Hamka, ada langkah-langkah lain yang bisa diberikan pemerintah kepada Myanmar agar menghentikan aksi kekerasan di Rakhine.
Indonesia, kata Hamka, bisa memberikan sanksi di bidang ekonomi. Selain itu, Indonesia juga bisa menggalang dukungan internasional agar memberikan sanksi kepada pihak militer Myanmar.
"Hard diplomacy tidak perlu sampai pemutusan hubungan. Ada hal lain yang bisa dilakukan misal memberikan sanksi ekonomi, mengajak dunia internasional untuk memberikan sanksi yang berat kepada militer Myanmar," kata dia.
Diplomasi Indonesia
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi bertemu dengan Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar, Jenderal Senior U Min Aung Hlaing di Nay Pyi Daw, Myanmar, pada Senin (4/9/2017) lalu.
Dalam pertemuan itu, Retno meminta pemerintah Myanmar menghentikan kekerasan di negara bagian Rakhine.
“Otoritas keamanan Myanmar perlu segera menghentikan segala bentuk kekerasan yang terjadi di Rakhine State dan memberi perlindungan kepada seluruh masyarakat termasuk masyarakat Muslim," kata Retno.
Setelah itu, Retno juga bertemu dengan dengan State Counsellor Daw Aung San Suu Kyi.
Kepada Aung San Suu Kyi, Retno menyampaikan usulan Indonesia yang disebut Formula 4+1 untuk Rakhine State.
Pertama, mengembalikan stabilitas dan keamanan. Kedua, menahan diri secara maksimal dan tidak menggunakan kekerasan.
Ketiga, perlindungan kepada semua orang yang berada di Rakhine State, tanpa memandang suku dan agama dan keempat, pentingnya segera dibuka akses untuk bantuan keamanan.
Sedangkan satu elemen lainnya adalah pentingnya agar rekomendasi Laporan Komisi Penasehat untuk Rakhine State yang dipimpin oleh Kofi Annan dapat segera diimplementasikan.
“Empat elemen pertama merupakan elemen utama yang harus segera dilakukan agar krisis kemanusian dan keamanan tidak semakin memburuk," kata Retno.
Satu capaian penting misi diplomasi kemanusiaan Indonesia ini adalah dengan disepakatinya Indonesia dan ASEAN terlibat dalam penyaluran bantuan kemanusiaan di Rakhine State.
https://nasional.kompas.com/read/2017/09/07/12230271/indonesia-menjadi-harapan-penuntasan-konflik-rohingya