"Yang mengganjal, saat Pak Jokowi debat capres-cawapres 2014, menggunakan penyelesaian kasus HAM berat yang menjadi komitmen untuk diselesaikan. Kemudian dia mengangkat orang yang diduga sebagai pelaku pelanggaran HAM berat," ujar Sumarsih saat aksi Kamisan ke-500 di depan Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (27/7/2017).
"Ini menunjukan bahwa kasus-kasus pelanggaran HAM berat ini digunakan untuk meraup suara supaya bisa untuk menduduki jabatan saja," kata dia.
Jokowi, lanjut Sumarsih, tidak melaksanakan beberapa poin Nawacita yang menjadi janji kampanyenya, terutama soal penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu.
"Di sana butir FF-nya mengatakan, 'Kami berkomitmen untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, seperti Semanggi I, II, Tisakti'. Dan butir GG-nya, 'Kami berkomitmen menghapus impunitas'," ujar Sumarsih.
Memang, dia melanjutkan pemerintahan Jokowi sempat membentuk tim komite gabungan pengungkap kebenaran dan rekonsiliasi. Namun, tim tersebut rupanya bukan untuk menyelesaikan perkara HAM berat masa lalu seadil-adilnya, melainkan ke arah nonyudisial.
"Ya jelas kami itu menolak. Cara menolaknya bagaimana? Ya dengan mengirimkan 'surat' kepada Presiden setiap hari Kamis (aksi Kamisan)," ujar Sumarsih, yang merupakan ibu dari korban Tragedi Semanggi I, Benardinus Realino Norma Irawan (Wawan).
Sumarsih pun tetap mendorong agar pemerintahan Jokowi-JK menyelesaikan perkara HAM berat masa lalu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Penuturan Sumarsih dapat dilihat dalam video di bawah ini:
https://nasional.kompas.com/read/2017/07/27/21325061/sumarsih--jokowi-menggunakan-penyelesaian-kasus-ham-demi-meraup-suara