JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Panitia Khusus (Panus) RUU Pemilu, Lukman Edy, menilai sangat riskan bila pembahasan RUU Pemilu tetap buntu terkait poin ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold.
Jika tak mencapai kesepakatan, maka akhirnya kembali ke undang-undang lama.
Menurut dia, akan ada implikasi politik yang besar bila pemilu 2019 kembali menggunakan undang-undang yang lama, sebab akan ada beberapa pihak yang berpotensi meragukan keabsahannya.
"Itu yang menurut kami sebaiknya dihindari karena implikasi politiknya itu, ya nanti. Pemilu bisa orang ragukan. Pemilu presiden, pemilu legislatif kan enggak boleh satu komponen masyarakat pun yang meragukan asas konstitusionalitasnya," ujar Lukman di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (10/7/2017).
(baca: Opsi Presidential Threshold 10-15 Persen Menguat)
Karena itu, ia menyatakan, saat ini semua pihak yang terkait tengah berupaya menyelesaikan Undang-undang Pemilu.
Ia mengaku telah mengklarifikasi pernyataan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo yang sempat menyatakan bakal mengembalikan ke undang-undang lama bila pembahasan RUU buntu karena isu presidential threshold.
Menurut Lukman, pernyataan Tjahjo saat itu bukan merupakan sebuah dorongan, tetapi implikasi jika pembahasan RUU saat ini tidak selesai.
(baca: Yusril Ancam Gugat UU Pemilu jika Presidential Threshold Tak Dihapus)
Ia menambahkan, jika empat hal dari lima isu krusial bisa diselesaikan pembahasannya, maka hari ini RUU Pemilu sudah bisa ditandatangani karena isu presidential threshold bisa diserahkan ke Paripurna pada 20 Juli mendatang.
Keempat isu krusial yang rencananya akan diselesaikan pembahasannya pada hari ini ialah parliamentary threshold, sebaran kursi perdaerah pemilihan, sistem pemilu, dan metode konversi suara ke kursi.
"Sudah, bisa. Kalau pansus menyepakati menandatangani naskah, presidential threshold diserahkan ke Paripurna, tetap bisa ditandatangani," papar Lukman.