JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Harian Partai Golkar Nurdin Halid mengakui, ada dampak psikologis atas penetapan politisi Partai Golkar Markus Nari sebagai tersangka.
Markus ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi karena dianggap menghalangi penyidikan dalam kasus dugaan korupsi kartu tanda penduduk elektronik (E-KTP).
"Secara elektoral partai, Insya Allah tidak ada. Tapi dampak secara psikologis dari para pengurus Partai Golkar pasti ada," kata Nurdin, saat ditemui di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (5/6/2017)/
Akan tetapi, menurut Nurdin, sudah ada pembicaraan dengan Ketua Umum Setya Novanto dan pengurus lain terkait penetapan Markus Nari sebagai tersangka.
Ia berharap, dampak psikologis ini tidak semakin melebar.
"Karena yang dituduhkan kepada Markus tadi substansinya bukan e-KTP, namun yang berkaitan dengan dituduh menghambat penegakan hukum. Menghambat proses hukum itu di mana masalahnya kita juga tidak tahu persis," ujar Nurdin.
Baca: KPK Tetapkan Anggota DPR Markus Nari sebagai Tersangka
Menurut Juru Bicara KPK Febri Diansyah, Markus Nari diduga memengaruhi Irman dan Sugiharto, yang merupakan dua terdakwa dalam kasus dugaan korupsi terkait pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik ( e-KTP) di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Selain itu, Markus juga diduga memengaruhi anggota DPR Miryam S Haryani untuk tidak memberikan keterangan yang sebenarnya saat bersaksi di pengadilan.
Sebelumnya, KPK menggeledah kediaman pribadi milik Markus di daerah Pancoran, Jakarta Selatan.
Kemudian, rumah dinas di Kompleks Perumahan Anggota DPR di Kalibata, Jakarta Selatan.
Dari dua lokasi tersebut, penyidik menemukan copy berkas berita acara pemeriksaan (BAP) atas nama Markus Nari dan ponsel serta USB.
Barang-barang tersebut kemudian disita sebagai barang bukti.
Baca: Markus Nari Diduga Pengaruhi Miryam Sebelum Bersaksi di Sidang E-KTP
Markus Nari yang merupakan politisi Partai Golkar itu disebut menerima uang sekitar Rp 4 miliar dalam pengadaan e-KTP.
Namun, Markus membantah hal itu saat memberikan keterangan sebagai saksi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (6/4/2017).
Atas perbuatannya, Markus disangka melanggar Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.