Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Asal Muasal Penelitian Kemendikbud dan Temuan Sikap Intoleransi di Sekolah...

Kompas.com - 03/05/2017, 14:38 WIB
Estu Suryowati

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Temuan intoleransi yang terjadi di sekolah, di mana masih ada siswa yang cenderung menolak Ketua OSIS yang berbeda agama merupakan hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan (Puslitjakdikbud), Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

Penelitian tersebut dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif melalui studi kasus dengan subjek siswa SMA/sederajat, guru, dan kepala sekolah dua SMA negeri dan dua SMA swasta di Kota Salatiga, Jawa Tengah, dan Kota Singkawang, Kalimantan Barat.

Penelitian ini berangkat dari permasalahan yang berkembang di lingkungan sekolah dan masyarakat di antaranya, masih kerap terjadinya perilaku intoleransi di masyarakat berupa tindakan kekerasan dan konflik sosial.

Di samping itu, masih banyak terjadi dominasi atau diskriminasi mayoritas terhadap minoritas, bahkan pemaksaan hingga terpinggirkannya hak-hak minoritas.

(Baca: Pilkada DKI Dikhawatirkan Timbulkan Intoleransi di Lingkungan Sekolah)

Permasalahan lain yang menjadi dasar penelitian yaitu munculnya paham dan tindakan radikal yang menjadi ancaman bagi keutuhan dan persatuan dan kesatuan bangsa.

Terakhir adalah kurangnya pemahaman mengenai pentingnya nilai-nilai multikultural dalam kehidupan masyarakat yang sangat plural.

Peneliti Puslitjakdikbud, Kemendikbud, Nur Berlian Venus Ali yang melakukan penelitian ini dari Juli-September 2016 mengatakan, penelitian ini dilatarbelakangi berdasarkan suvei SETARA Institute for Democracy and Peace (SIDP) tahun 2015 yaitu masih ada sikap atau persepsi siswa SMA Negeri yang tidak sesuai dengan nilai-nilai nasionalis.

(Baca: Jokowi: Jangan Takut Melawan Intoleransi dan Kekerasan)

"Sikap tersebut (yang ada dalam survei SIDP) antara lain 8,5 persen setuju dasar negara diganti dengan agama, dan 7,2 persen setuju (eksistensi) gerakan ISIS," kata Nur kepada Kompas.com, Selasa malam (2/5/2017).

Hal tersebut, kata Nur, sejalan dengan hasil survei Saiful Mujani Research Consulting tahun 2016 yang menyebutkan bahwa lima persen anak usia sekolah/kuliah mengetahui dan mendukung gerakan ISIS.

"Fakta ini tidak sejalan dengan harapan pemerintah yang dituangkan dalam berbagai kebijakan (Nawacita, UU Sisdiknas, dan lainnya)," imbuh Nur.

Temuan penelitian

Berangkat dari latar belakang masalah dan hasil survei lembaga lain tersebut, maka dilakukanlah penelitian dengan mengambil sampel studi kasus di dua kota Singkawang dan Salatiga. Kedua kota ini dipilih lantaran mewakili masyarakat multikultur dan tingkat toleransi tinggi.

Menurut Nur, temuan penelitian di Singkawang dan Salatiga, banyak praktik baik yang dilakukan sekolah dalam memelihara toleransi dan kebinekaan. Namun, ketika diminta mengisi kuesioner tentang sikap kebinekaan, masih ada sebagian siswa (sekitar 25 persen) yang merasa lebih nyaman berteman dengan yang seetnis dan seagama.

Halaman:


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com