JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menghormati prsoes hukum terkait pencegahan Ketua DPR Setya Novanto ke luar negeri.
Pencegahan itu dilakukan selama enam bulan terkait kasus dugaan korupsi Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP).
"Sebaiknya semua pihak mendukung proses hukum ini. Jangan justru menghambat dengan alasan di luar hukum," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah melalui pesan singkat, Rabu (12/4/2017).
(Baca: Dicegah ke Luar Negeri, Ini Tanggapan Setya Novanto)
Febri menuturkan, pencegahan itu dilakukan dalam penyidikan terhadap tersangka Andi Agustinus alias Andi Narogong. Hal itu didasarkan pada Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
"Jika pihak yang dicegah keberatan, silakan ikuti proses hukum," ujar Febri.
Sebelumnya, Dewan Perwakilan Rakyat akan melayangkan surat keberatan kepada Presiden Joko Widodo atas pencegahan Ketua DPR RI Setya Novanto ke luar negeri sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP).
Langkah tersebut menindaklanjuti nota keberatan Fraksi Partai Golkar dan telah menjadi surat resmi kelembagaan karena telah disepakati dalam rapat Badan Musyawarah (Bamus), Selasa (11/4/2017) malam.
(Baca: Ini Alasan KPK Cegah Setya Novanto ke Luar Negeri)
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menilai, pencegahan Ketua DPR Setya Novanto ke luar negeri oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi melanggar putusan Mahkamah Konstitusi nomor 64/PUU-IX/2011.
Putusan tersebut membatalkan Pasal 97 ayat 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian yang memperbolehkan penegak hukum meminta pencegahan kepada Ditjen Imigrasi untuk mencegah seseorang ke luar negeri meski masih dalam proses penyelidikan. Padahal, Novanto dicegah dalam proses penyidikan.