Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 24/03/2017, 17:48 WIB

Oleh: Khairul Fahmi

Masih segar dalam ingatan betapa putusan Mahkamah Konstitusi dalam penyelesaian perselisihan hasil Pemilihan Kepala Daerah 2015 telah membuat nanar ratusan pemohon.

Kala itu, dari 151 perkara sengketa hasil pilkada yang diajukan, 137 perkara dinyatakan tidak dapat diterima. Alasannya, ada permohonan yang telah lampau waktu, tetapi mayoritas penolakan adalah ambang batas selisih suara sesuai Pasal 158 UU Pilkada tidak terpenuhi.

Kejadian itu di luar perkiraan banyak orang, sebab dalam sejarah penyelesaian sengketa pilkada, baru kali ini MK menerapkan syarat formal permohonan secara zakelijk.

Walaupun demikian, pilihan sikap MK tersebut tidak boleh dianggap sebagai sesuatu yang final. Bagaimanapun, berbagai perkembangan penyelenggaraan pilkada mesti dijadikan referensi untuk terus memperbaiki posisi hukum lembaga peradilan guna memenuhi rasa keadilan dalam kontestasi politik lokal.

Lebih-lebih, hingga saat ini loophole dalam UU Pilkada sangat memungkinkan kontestan bertanding secara curang. Walau UU telah menyediakan perangkat penyelesaian masalah hukum, hal itu belum secara rapi mengurangi peluang permainan serong seperti politik uang. Alih-alih dapat disentuh, dalam pilkada serentak 2017, sangat terasa pelanggaran diselundupkan sedemikian rupa dan hendak pula berlindung di balik ambang batas pengajuan permohonan penyelesaian sengketa hasil.

Impunitas politik uang

Ambang batas selisih suara telah memunculkan rumus baru dalam Pilkada 2017: lakukan politik uang untuk kemenangan dengan selisih diatas 2 persen, maka pelanggaran tak akan tersentuh, bahkan oleh MK sekalipun.

Aspek normatif pun turut menunjang proliferasi politik uang dengan rumus itu. Betapa tidak, walaupun UU No 10/2016 mengatur sanksi tegas pembatalan bagi calon yang terbukti melakukan politik uang, ketentuan dimaksud sama sekali tidak implementatif.

Dikatakan begitu karena politik uang sebagai pelanggaran administratif baru dapat ditindak ketika ia terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif. Dalam arti, hanya politik uang yang terencana secara baik, melibatkan aparat struktural, dan berdampak luas terhadap hasil pilkada yang dapat dihukum dengan pembatalan calon.

Sebaliknya, jika hanya dilakukan oleh calon dengan dukungan tim pemenangan, sekalipun berdampak luas terhadap kemenangannya, Pasal 73 dan Pasal 135A UU Pilkada sama sekali tidak dapat diterapkan. Akhirnya, norma itu pun tak lebih sekadar aturan basa-basi.

Lebih jauh, dalam Peraturan Bawaslu No 13/2016 terkait penanganan politik uang diatur, Bawaslu hanya dapat menerima dan memeriksa dugaan pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif paling lambat 60 hari sebelum pemungutan suara. Dengan batasan itu, ada dua hal yang dapat dipastikan. Pertama, politik uang yang terjadi dua bulan sebelum pemungutan suara tidak akan pernah terjangkau. Kedua, dampak politik uang terhadap hasil pilkada mustahil dibuktikan. Sebab, sebelum dampak dapat diukur, tenggang waktu pemeriksaan telah terlebih dahulu berakhir.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pertimbangan Hakim Tipikor Kabulkan Eksepsi Gazalba Dinilai Mengada-ada

Pertimbangan Hakim Tipikor Kabulkan Eksepsi Gazalba Dinilai Mengada-ada

Nasional
Ceritakan Operasi Ambil Alih Saham Freeport, Jokowi: Sebentar Lagi 61 Persen

Ceritakan Operasi Ambil Alih Saham Freeport, Jokowi: Sebentar Lagi 61 Persen

Nasional
109.898 Jemaah Calon Haji RI Sudah Tiba di Saudi, 17 Orang Wafat

109.898 Jemaah Calon Haji RI Sudah Tiba di Saudi, 17 Orang Wafat

Nasional
Gaji Karyawan Dipotong untuk Tapera, Jokowi: Semua Sudah Dihitung...

Gaji Karyawan Dipotong untuk Tapera, Jokowi: Semua Sudah Dihitung...

Nasional
Jokowi Bakal Lihat Kemampuan Fiskal untuk Evaluasi Harga BBM pada Juni

Jokowi Bakal Lihat Kemampuan Fiskal untuk Evaluasi Harga BBM pada Juni

Nasional
Kemenag Rilis Aplikasi Kawal Haji, Sarana Berbagi Informasi Jemaah

Kemenag Rilis Aplikasi Kawal Haji, Sarana Berbagi Informasi Jemaah

Nasional
Rakernas PDI-P Banyak Kritik Pemerintah, Jokowi: Itu Internal Partai, Saya Tak Akan Komentar

Rakernas PDI-P Banyak Kritik Pemerintah, Jokowi: Itu Internal Partai, Saya Tak Akan Komentar

Nasional
Kemenag Imbau Jemaah Haji Jaga Pakaian, Perilaku, dan Patuhi Aturan Lokal Saudi

Kemenag Imbau Jemaah Haji Jaga Pakaian, Perilaku, dan Patuhi Aturan Lokal Saudi

Nasional
Polemik RUU Penyiaran, Komisi I DPR Minta Pemerintah Pertimbangkan Masukan Rakyat

Polemik RUU Penyiaran, Komisi I DPR Minta Pemerintah Pertimbangkan Masukan Rakyat

Nasional
Jadi Tuan Rumah Pertemuan Organisasi Petroleum ASEAN, Pertamina Dorong Kolaborasi untuk Ketahanan Energi

Jadi Tuan Rumah Pertemuan Organisasi Petroleum ASEAN, Pertamina Dorong Kolaborasi untuk Ketahanan Energi

Nasional
Di Hadapan Jokowi, Kapolri Pilih Umbar Senyum Saat Ditanya Dugaan Penguntitan Jampidsus

Di Hadapan Jokowi, Kapolri Pilih Umbar Senyum Saat Ditanya Dugaan Penguntitan Jampidsus

Nasional
Penerapan SPBE Setjen DPR Diakui, Sekjen Indra: DPR Sudah di Jalur Benar

Penerapan SPBE Setjen DPR Diakui, Sekjen Indra: DPR Sudah di Jalur Benar

Nasional
Soal Dugaan Jampidsus Dibuntuti Densus 88, Komisi III DPR Minta Kejagung dan Polri Duduk Bersama

Soal Dugaan Jampidsus Dibuntuti Densus 88, Komisi III DPR Minta Kejagung dan Polri Duduk Bersama

Nasional
Ketum PBNU Minta GP Ansor Belajar dari Jokowi

Ketum PBNU Minta GP Ansor Belajar dari Jokowi

Nasional
Momen Hakim Agung Gazalba Saleh Melenggang Bebas dari Rutan KPK

Momen Hakim Agung Gazalba Saleh Melenggang Bebas dari Rutan KPK

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com