Oleh: Asrinaldi Asril
Ancaman terhadap proses demokrasi elektoral yang perlu mendapat perhatian adalah terjadinya kecurangan yang sengaja dilakukan untuk memenangkan calon tertentu.
Kecurangan (election fraud) terjadi tak hanya dalam pilkada serentak yang baru saja dilaksanakan, tapi hampir di setiap pemilu. Seakan-akan kecurangan ini menjadi bagian dari strategi pamungkas untuk memenangkan calon tertentu ketimbang menggunakan cara yang dibenarkan oleh undang-undang guna mendapatkan suara pemilih.
Padahal, pilkada ini merupakan refleksi kesepahaman antar-individu di ranah publik untuk memberi legitimasi pemimpin yang terpilih berdasarkan prinsip jujur dan adil. Sangat di sayangkan jika itu harus dinodai dengan cara-cara di luar aturan yang telah disepakati. Umumnya kecurangan dilakukan secara sistematis dengan modus "seolah-olah" ini terjadi karena kesalahan administrasi pilkada atau kelalaian penyelenggara. Pilihan alasan ini dimaksudkan agar tak ada protes dan tuntutan yang berlebihan sehingga dapat membatalkan kemenangan calon yang melakukan kecurangan tersebut.
Tidaklah mengherankan jika dalam setiap pilkada yang muncul adalah tudingan terjadinya kecurangan oleh pihak tertentu. Dampaknya muncul sikap penafian terhadap hasil pilkada dari pihak yang merasa dicurangi. Yang paling ekstrem, akan mencetuskan penolakan terhadap keputusan KPU disertai dengan kerusuhan massa dan kekerasan yang melibatkan pendukung calon yang kalah. Dalam catatan sejarah pilkada di Indonesia, kerusuhan yang terjadi selalu diawali dengan perilaku curang.
Sangat mengherankan, antusiasme publik mengikuti pilkada justru harus dicederai dengan perbuatan curang oleh kelompok tertentu. Kelompok ini jelas memiliki hubungan dengan tim pemenangan calon kepala daerah. Idealnya, kecurangan dalam pilkada dapat dicegah karena setiap tahapan pemilihan yang dilaksanakan selalu diawasi, mulai dari pemutakhiran data pemilih hingga ke penghitungan suara. Namun, mengapa masih saja terjadi kecurangan tersebut?
Penyebab dan penegakan hukum
Paling tidak ada empat faktor yang berkaitan langsung dengan perbuatan curang tim pemenangan calon kepala daerah. Pertama, rendahnya tanggung jawab bersama terhadap keberhasilan pelaksanaan demokrasi elektoral yang menjadi pilihan masyarakat. Sungguh disayangkan, komitmen bersama yang sudah terbangun selama ini, yaitu menolak dikembalikannya sistem pemilihan kepala daerah melalui DPRD, harus dihancurkan oleh perbuatan curang ini.
Sangat jelas perbuatan curang itu telah memberikan pengaruh buruk pada perkembangan demokrasi di Indonesia. Tanpa disadari, kepercayaan masyarakat terhadap pilkada akan menurun. Jika ini yang terjadi, tentu suatu kemunduran dalam berdemokrasi yang sudah kita rasakan sejak pemerintahan Orde Baru mundur dari kekuasaan politiknya.
Kedua, tidak profesionalnya penyelenggara pilkada. Profesionalisme ini dapat dilihat dari kemampuan penyelenggara melaksanakan tugas kepemiluannya mulai dari tingkat KPPS hingga ke komisioner dalam melaksanakan tahapan pilkada. Dari pengamatan sekilas, refleksi ketidakprofesionalan ini dapat dilihat dari keberpihakan penyelenggara kepada calon tertentu. Indikasi lain adalah kurangnya surat suara sehingga pemilih tak dapat menggunakan suaranya, penggunaan data orang lain untuk mencoblos, adanya pemilih ganda, migrasi pemilih ke TPS di luar domisili mereka, tidak tersebarnya formulir C6 untuk masyarakat, dan manipulasi hasil penghitungan suara.