Memang tak mudah mencari penyelenggara yang profesional dan mampu melaksanakan pekerjaannya sampai selesai sesuai ketentuan yang ada, terutama di tingkat KPPS. Sialnya, justru tingkat KPPS inilah yang cenderung terabaikan dan luput dari Komisi Pemilihan Umum (KPU). Padahal, KPPS adalah titik krusial terjadinya kecurangan dalam pilkada. Walaupun ada antisipasi untuk menurunkan praktik kecurangan dengan melibatkan saksi, sering kali praktik manipulatif yang dilakukan penyelenggara sulit diketahui publik.
Ketiga, hasrat besar tim sukses untuk memenangkan calonnya dengan segala cara. Hal ini terjadi karena adanya "kontrak" yang harus dilaksanakan agar mereka mendapat "bagian" dari kemenangan yang dicapai calon kepala daerah yang mereka dukung. Akibatnya, politik menghalalkan segala cara akan dilakukan, termasuk menafikan aturan perundang-undangan dan melakukan intimidasi kepada pemilih.
Selain itu, modus mendatangkan pemilih siluman dan melakukan politik uang juga sering ditemukan. Celakanya, calon kepala daerah yang diharapkan bisa mencegah perbuatan curang tim pemenangan ini cenderung pasif dan menerima apa pun yang akan dilakukan oleh timnya agar bisa menang dalam pilkada.
Keempat, lemahnya pengawasan dan tidak adanya upaya penegakan hukum bagi yang melanggar aturan pilkada secara optimal. Banyak kecurangan dilaporkan masyarakat dan menjadi temuan panitia pengawas pilkada, tetapi jarang ditindaklanjuti menjadi kasus hukum yang berimplikasi pada pemidanaan. Bagi pelaku sendiri, keadaan ini tentu menguntungkan sehingga tidak ada rasa takut dan rasa bersalah ketika berbuat curang dalam pilkada berikutnya.
Praktik curang ini harus menjadi pelajaran penting bagi semua pihak yang terlibat dalam pilkada. Tindakan pencegahan harus dilakukan tidak hanya oleh penyelenggara, tetapi juga masyarakat yang menjadi aktor utama keberhasilan pelaksanaan pilkada. Membangun kesadaran politik masyarakat menjadi salah satu cara mencegah munculnya kecurangan ini. Paling tidak, dengan meningkatnya pemahaman masyarakat akan menutup celah bagi sejumlah pihak yang ingin merusak sistem demokrasi yang sudah terbangun ini.
Apalagi, dalam waktu dekat juga akan berlangsung pilkada putaran kedua di DKI Jakarta yang akan dilanjutkan dengan pelaksanaan pilkada serentak gelombang ketiga pada bulan Juni 2018. Idealnya, harus ada upaya sungguh-sungguh untuk meniadakan kecurangan ini agar kepercayaan publik terhadap pilkada sebagai mekanisme memilih pemimpin secara jujur dan adil tetap terpelihara.
Asrinaldi Asril
Dosen Ilmu Politik Universitas Andalas
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Februari 2017, di halaman 7 dengan judul "Praktik Curang Pilkada Kita".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.