Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mahfud MD: SBY Setengah Memaksakan Patrialis Jadi Hakim MK

Kompas.com - 29/01/2017, 15:09 WIB
Ihsanuddin

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menilai tertangkapnya hakim MK Patrialis Akbar tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab moral Presiden kelima RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Sebab, pada saat itu, SBY-lah yang menunjuk Patrialis sebagai hakim MK. Bahkan, penunjukan Patrialis saat itu terkesan dipaksakan.

"SBY punya tanggung jawab moral sebab dialah yang setengah memaksakan Patrialis menjadi Hakim MK," kata Mahfud saat dihubungi, Minggu (29/1/2017).

Pada Agustus 2013, tanpa seleksi yang transparan dan melibatkan publik, SBY mengangkat Patrialis menjadi hakim MK. Proses pemilihan Patrialis dianggap tidak transparan dan tidak membuka peluang bagi masyarakat untuk turut menyumbangkan pendapat.

Padahal, berdasarkan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi diatur mengenai pencalonan hakim konstitusi secara transparan dan partisipatif.

Keputusan Presiden No 87/P Tahun 2013 tentang pengangkatan Patrialis juga digugat dan akhirnya dibatalkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara.

"Saya ketika itu sudah menulis artikel khusus di Harian Kompas agar SBY menggunakan keluarnya vonis PTUN itu sebagai momentum untuk mengoreksi kesalahannya. Saya sarankan agar SBY tak usah naik banding. Tetapi SBY tak peduli dan tetap naik banding," cerita Mahfud.

Ternyata, banding SBY dimenangkan oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dan dikuatkan kembali di tingkat Mahkamah Agung.

"Tentu saja kita curiga ada unsur politik saat itu. Tetapi tak ada gunanya karena tak punya bukti yang bisa ditunjukkan. Melengganglah Patrialis di MK karena keberhasilan ngototnya SBY itu," kata Mahfud.

Mahfud mengakui, secara hukum, SBY memang tak bisa diminta tanggungj jawab apa pun atas penangkapan Patrialis.

"Tetapi perlu ditekankan, SBY tak bisa lepas dari tanggung jawab moral. Dialah yang mengangkat Patrialis dan kemudian ngotot mempertahankannya, sehingga menimbulkan musibah bagi bangsa ini," ucap Mahfud.

Patrialis ditangkap setelah diduga menerima suap senilai 20.000 Dollar AS dan 200.000 Dollar Singapura, atau senilai Rp 2,15 miliar. Pemberian dari pengusaha impor daging Basuki Hariman tersebut diduga agar Patrialis membantu mengabulkan gugatan uji materi yang sedang diproses di MK.

Perkara gugatan yang dimaksud yakni, uji materi nomor 129/puu/XII/2015 terkait Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Uji materi itu kini memasuki tahap akhir. Basuki Hariman mengakui, ia memberi uang ke Kamaludin, orang dekat Patrialis. Uang itu diberikan karena Kamaludin membantu mempertemukannya dengan Patrialis. Namun, Basuki mengaku yakin uang tersebut tidak sampai ke Patrialis.

Sementara, Patrialis membantah menerima suap. Ia justru merasa dizalimi oleh KPK. Baik Patrialis, Basuki Hariman, dan Kamaludin saat ini sudah ditetapkan sebagai tersangka KPK dan ditahan.

Kompas TV Ditahan KPK, Patrialis: Demi Allah, Saya Betul-betul Dizalimi
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Kata Gibran soal Urgensi Adanya Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis

Kata Gibran soal Urgensi Adanya Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis

Nasional
Riwayat Gus Muhdlor: Hilang Saat OTT, Beralih Dukung Prabowo, Akhirnya Tetap Ditahan KPK

Riwayat Gus Muhdlor: Hilang Saat OTT, Beralih Dukung Prabowo, Akhirnya Tetap Ditahan KPK

Nasional
Menag Cek Hotel dan Bus Jemaah Haji: Semua Baik

Menag Cek Hotel dan Bus Jemaah Haji: Semua Baik

Nasional
Menerka Peluang Anies dan Ahok Berduet di Pilkada DKI Jakarta

Menerka Peluang Anies dan Ahok Berduet di Pilkada DKI Jakarta

Nasional
Gibran Sebut Ada Pembahasan soal Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis, tapi Belum Final

Gibran Sebut Ada Pembahasan soal Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis, tapi Belum Final

Nasional
Pengamat: Jangankan 41, Jadi 100 Kementerian Pun Tak Masalah asal Sesuai Kebutuhan

Pengamat: Jangankan 41, Jadi 100 Kementerian Pun Tak Masalah asal Sesuai Kebutuhan

Nasional
Utak-Atik Strategi Jokowi dan Gibran Pilih Partai Politik, PSI Pasti Dicoret

Utak-Atik Strategi Jokowi dan Gibran Pilih Partai Politik, PSI Pasti Dicoret

Nasional
Gibran Lebih Punya 'Bargaining' Gabung Partai Usai Dilantik Jadi Wapres

Gibran Lebih Punya "Bargaining" Gabung Partai Usai Dilantik Jadi Wapres

Nasional
Wacana Prabowo Tambah Kementerian Dianggap Politis dan Boroskan Uang Negara

Wacana Prabowo Tambah Kementerian Dianggap Politis dan Boroskan Uang Negara

Nasional
'Golkar Partai Besar, Tidak Bisa Diobok-obok Gibran'

"Golkar Partai Besar, Tidak Bisa Diobok-obok Gibran"

Nasional
Prabowo Ingin Tambah Menteri, Wapres Ma'ruf Amin Ingatkan Pilih yang Profesional

Prabowo Ingin Tambah Menteri, Wapres Ma'ruf Amin Ingatkan Pilih yang Profesional

Nasional
[POPULER NASIONAL] Jokowi Berkelakar Ditanya soal Pindah Parpol | PDI-P Beri Sinyal di Luar Pemerintahan

[POPULER NASIONAL] Jokowi Berkelakar Ditanya soal Pindah Parpol | PDI-P Beri Sinyal di Luar Pemerintahan

Nasional
Prabowo Diharap Tetapkan 2 Syarat Utama Sebelum Tambah Kementerian

Prabowo Diharap Tetapkan 2 Syarat Utama Sebelum Tambah Kementerian

Nasional
Ide Prabowo Tambah Kementerian Sebaiknya Pertimbangkan Urgensi

Ide Prabowo Tambah Kementerian Sebaiknya Pertimbangkan Urgensi

Nasional
Wacana Prabowo Tambah Kementerian Diyakini Bakal Picu Problem

Wacana Prabowo Tambah Kementerian Diyakini Bakal Picu Problem

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com