Oleh: Fajar Kurnianto
Menjadi calon pemimpin atau kepala daerah mesti siap untuk menyampaikan ide, pemikiran, program, peta jalan pembangunan wilayah, dan seterusnya dalam kampanye mereka.
Semua itu tidak hanya disampaikan pada saat bertemu warga langsung, tetapi juga di media—cetak maupun televisi—yang sudah menyediakan ruang debat untuk mereka. Ini sekaligus menyangkut hak publik untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang kapasitas mereka yang akan menjadi pemimpin. Sayangnya, ada calon yang menolak berdebat dengan calon lainnya.
Manfaat debat
Ruang debat yang diberikan media televisi bagi para calon pemimpin atau kepala daerah, selain merupakan bagian dari rangkaian kampanye yang diprogramkan KPUD, sesungguhnya juga merupakan kesempatan emas bagi para calon untuk mencuri perhatian para pemilih. Selain itu, juga untuk ”memamerkan kebolehan” mereka dalam berdebat, adu argumentasi, dengan para kompetitornya.
Meskipun, tentu saja, itu tidak menjadi jaminan kemenangan pada hari pemilihan. Paling tidak itu terjadi pada kasus Hillary Clinton yang menang atas Donald Trump pada sesi debat, nyatanya Trump yang menang dan terpilih menjadi presiden Amerika baru menggantikan Barrack Obama.
Debat dalam konteks kampanye merupakan sesuatu yang urgen dan penting. Ini menjadi salah satu faktor—bukan satu-satunya—naik-turunnya elektabilitas para calon. Apalagi jika di antara calon itu adalah petahana. Para penantang akan dengan leluasa melakukan kritik terhadap berbagai kekurangan dan kekeliruan pada kinerja sang petahana, sekaligus menyampaikan gagasan-gagasan baru yang dirasakan lebih benar dan segar.
Ini jelas sangat positif. Sang penantang juga bisa menyampaikan data pembanding mengenai banyak persoalan daerah, baik itu ekonomi, sosial, maupun yang lainnya, yang bisa jadi berbeda dengan data dari sang petahana.
Di sisi lain, bagi calon petahana, debat di media televisi juga menjadi kesempatan baik untuk menyampaikan apa yang mereka sebut sebagai keberhasilan dan kesuksesan program dan nyata telah dilakukan serta akan terus dilakukan karena dirasakan ada manfaatnya. Sekaligus menjawab balik semua kritik dari para penantang melalui data statistik atau fakta di lapangan yang dapat dilihat secara gamblang.
Selain itu, ajang debat juga untuk menyampaikan apa program-program baru yang lebih baik dan segar daripada yang digagas para calon penantang. Mereka bisa menjadikan panggung itu sebagai ruang penegasan bahwa mereka telah sungguh- sungguh berpengalaman: bekerja dan berhasil.
Sayangnya, panggung debat di media ini acap kali tidak diikuti oleh salah satu calon. Jadi, terasa ganjil. Alasan ketidakhadirannya bisa macam-macam dan kadang terkesan dibuat-buat. Misalnya, ada yang menyebut debat tidak terlalu bermanfaat, lebih baik bersama-sama dengan rakyat langsung, bertemu dengan mereka, berdekat-dekatan, lalu melakukan semacam atraksi tertentu yang heboh.
Bisa jadi pula sang calon ini sudah merasa di atas angin karena sebuah peristiwa fantastis, kolosal, dramatik yang telah berhasil menekan salah satu calon yang rupanya tersandung suatu kasus hukum serius. Jadi, peristiwa besar itu menjadi semacam durian runtuh bagi sang calon tadi.
Hadir atau tidak hadir dalam program debat di media televisi memang pilihan para calon. Itu hak mereka untuk memutuskan. Tak ada larangan apa pun untuk tidak hadir. Pun tidak ada sanksi atau bahkan eliminasi dari KPUD karena ketidakhadiran itu.
Namun, mereka harus ingat dan menyadari, ada hak publik di situ. Publik berhak tahu, seperti apa gambaran nyata, tidak hanya fisik, tetapi juga cara atau pola berpikir mereka dalam membaca problem daerah dan apa solusi baru yang ditawarkan. Karena, berbeda dengan kampanye di lapangan, dalam program debat tentu ada pertanyaan yang lebih kritis dan sistematis dari para panelis yang ada.
Pemilih rasional-kritis