MEDAN, KOMPAS — Masyarakat pengguna internet perlu lebih cermat dalam menerima dan menyebarluaskan informasi melalui media sosial. Informasi memuat ujaran kebencian yang menyebar dengan cepat dapat mengancam persatuan bangsa.
Hal ini mengemuka dalam seminar bertajuk "Implementasi Semangat Kepahlawanan Guna Mencegah Paham Radikalisme dan Terorisme dalam Rangka Memperkokoh Persatuan dan Kesatuan Bangsa" di Auditorium Universitas Negeri Medan (Unimed), Medan, Sumatera Utara, Selasa (8/11).
Sekretaris Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Letnan Jenderal Yayat Sudrajat, Kepala Staf Kodam I Bukit Barisan Brigadir Jenderal (TNI) Tiopan Aritonang, Rektor Unimed Syawal Gultom, Ketua Kwartir Nasional Pramuka Adhyaksa Dault, dan Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Irfan Idris menjadi pembicara.
Yayat mengatakan, salah satu cita-cita kemerdekaan Indonesia adalah persatuan bangsa. Untuk mewujudkan cita-cita persatuan itu, tantangan yang paling berat dalam menghadapinya adalah tantangan nonfisik.
"Kemajuan teknologi membuat paham kebencian, radikalisme, dan terorisme menyebar dengan sangat cepat," ujar Yayat.
Perang informasi
Perkembangan teknologi dan semakin banyaknya pengguna internet di Indonesia, kata Adhyaksa, telah memicu perang informasi. Melalui media sosial, berbagai informasi begitu cepat masuk ke ruang pribadi masyarakat pengguna internet. Informasi itu sangat mudah memengaruhi sikap masyarakat dan membentuk opini publik.
Pengguna internet saat ini juga tidak lagi bersikap pasif sebagai penerima informasi semata. Masyarakat telah berubah menjadi jurnalis warga yang memproduksi informasi dan menyebarkannya dengan sangat cepat.
"Tidak jarang, berbagai pihak juga memanfaatkan media sosial untuk menyebarluaskan kebencian," katanya.
Ujaran kebencian, kata Adhyaksa, dengan mudah menyebar karena dikemas dalam bahasa yang sangat provokatif. Kebencian itu bahkan bisa menimbulkan "kegilaan".
"Kita harus hati-hati memilih dan mencermati mana informasi yang benar dan mana yang salah. Jika tidak, bangsa ini bisa terjebak dalam kegilaan yang disebabkan kebencian," ujarnya.
Menurut Irfan, kemajuan teknologi media sosial ibarat dua mata pisau. Di satu sisi, ia memberi kemudahan bagi penggunanya untuk mengakses informasi. Di sisi lain, banyak pihak yang memanfaatkan media sosial sebagai alat untuk menyebarkan ujaran kebencian.
Irfan mengatakan, berdasarkan penelitian yang mereka lakukan, jaringan terorisme saat ini menyasar generasi muda untuk direkrut sebagai anggotanya melalui jaringan internet. Mereka memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan radikalisme. Sesuai dengan data BNPT, sebanyak 47,3 persen pelaku tindak pidana terorisme berusia 20 tahun-30 tahun. "Sejauh ini, saya melihat unsur provokasi di media sosial lebih kuat. Lebih banyak informasi bohong daripada benar," ujarnya. (NSA)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 November 2016, di halaman 4 dengan judul "Ujaran Kebencian Ancam Persatuan".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.