JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menilai munculnya calon tunggal di tujuh daerah yang akan mengikuti pemilihan kepala daerah serentak 2017 merupakan hal yang tak bisa dihindari.
Fenomena calon tunggal juga sebelumnya pernah terjadi dalam pemilihan kepala daerah serentak 2015 lalu.
"Hanya pada 2015 cuma tiga daerah, ini lebih banyak," kata Tjahjo di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (30/9/2016).
Mendagri mengatakan, KPU akan memperpanjang pendaftaran di tujuh daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon itu.
Namun, apabila sudah diperpanjang tak ada calon lain yang mendaftar, maka hal itu juga tidak menjadi masalah.
Sebab, lanjut dia, sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi yang mengizinkan daerah dengan calon tunggal untuk tetap menggelar Pilkada.
Nantinya, masyarakat cukup memilih setuju atau tidak setuju dengan calon tunggal itu di kertas suara.
Putusan itu dikeluarkan MK pada pilkada serentak 2015 lalu sebagai solusi bagi tiga daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon.
"Seharusnya sudah tak jadi perdebatan setelah ada putusan MK itu," kata Tjahjo.
Mendagri pun mengaku tak masalah jika aturan MK yang mengizinkan calon tunggal itu justru dimanfaatkan petahana untuk memborong sebanyak-banyaknya kursi partai politik.
Pada pilkada 2017 ini, empat dari tujuh daerah dengan calon tunggal tak bisa mengakomodasi tambahan pasangan calon karena kursi tersisa tak cukup.
"Enggak ada masalah, mungkin itu bagian straregi parpol," kata dia.
Dari hasil olah data Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), di Kabupaten Tambrauw, Papua Barat, petahana Gabriel Asem menggandeng Mesak Metusala yang didukung 19 kursi dari total 20 kursi DPRD.
Di Tulang Bawang Barat, duet petahana Umar Ahmad dan Fauzi Hasan menyapu bersih dukungan partai dengan mengantongi 30 kursi DPRD.
Di Landak, putri Gubernur Kalimantan Barat, Karolin Margret Natasa, menggandeng petahana Herculanus Heriadi merebut 34 dari 35 kursi DPRD.