Oleh: Said Aqil Siroj
Kasus teror di Gereja Katolik Stasi Santo Yosep, Medan, Sumatera Utara, baru-baru ini kembali membuat geger. IAH remaja umur 17 tahun menjadi pelakunya.
Lagi-lagi, peristiwa ini menyedot perhatian seraya memicu kecemasan, akankah teror model seperti ini bakal terjadi lagi?
Seorang peneliti yang sudah banyak blusukan dalam kegiatan deradikalisasi bercerita kepada saya.
Beberapa hari setelah kejadian teror Medan, dia ditelepon kenalan akrabnya, seorang mantan napi terorisme.
Kenalannya itu dulunya dikenal ”ideolog” yang sering melakukan ”cuci otak” kepada ratusan anak muda di Medan dan sekitarnya.
Selepas dari bui, diatobat dan banyak membantu dalam program deradikalisasi. Si mantan napi terorisme itu mencurahkan pikirannya soal masih aktifnya sel-sel jihad di Medan.
Daerah yang dikenal multikultur ini dipandangnya masih rentan dengan aksi terorisme.
Di Medan sudah pernah terjadi kasus-kasus teror, seperti peledakan gereja, perampokan Bank Lippo dan CIMB, penyerangan Polsek Hamparan Perak, dan yang ”legendaris” lahirnya Komando Jihad (Komji).
Saat ini, tak sedikit pengajian (ta’lim) digelar secara rutin dan underground oleh beberapa kelompok yang bahkan terindikasi berkiblat pada Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
Pengikutnya banyak dari anak-anak muda. Metodenya dengan baiat. IAH salah satu produk dari hasil baiat ala NIIS.
Dari sini, dia melihat besarnya potensi teror yang akan mengguncang. Hitung-hitungannya, banyak ”pengantin” dari kalangan anak-anak muda yang berpotensi siap menyusul untuk amaliyat jihad dalam bentuk terorisme.
Karena itu, menurut dia, deradikalisasi perlu digencarkan. Jangan sampai ada ”deradikalisasi galau”.
Kasus ”teror Medan” inibisa sebagai ”teropong” untuk melihat sejauh mana perjalanan deradikalisasi terorisme.
Banyak yang bertanya-tanya, mengapa masih saja kita ”kecolongan” aksi teror, sementara deradikalisasi sudah dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Tak ayal, ada galau, harapan, dan juga optimisme.