JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD mengaku tidak setuju jika revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan akhirnya meringankan koruptor untuk mendapat remisi.
"Saya tidak setuju PP diubah untuk memberi keringanan," kata Mahfud di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (11/8/2016).
"Menurut saya, suatu kemunduran kalau ada pemikiran menghapus syarat justice collabolator untuk remisi bagi koruptor," tambah dia.
Mahfud mengatakan, korupsi adalah perbuatan yang sangat jahat dan membahayakan, bahkan dapat menghancurkan bangsa.
(baca: Zulkifli Ingin Remisi Pengguna Narkoba Dipermudah, Koruptor Tetap Diperketat)
Untuk itu, menurut Mahfud, koruptor sepatutnya harus diperberat hukumanya dan tidak boleh diistimewakan karena memiliki banyak uang.
Menurut Mahfud, penjara bagi koruptor justru perlu diperketat. Beberapa isu, kata Mahfud, menyebut bahwa narapidana koruptor mendapat keleluasaan dan fasilitas lebih saat berada dalam tahanan.
Ketentuan tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan yang sebelumnya diatur dalam PP Nomor 99 Tahun 2012 memperketat narapidana korupsi, terorisme dan narkoba mendapat remisi.
Namun, pemerintah berencana merevisi PP No 99/2012 tersebut dengan alasan jumlah narapidana di seluruh Indonesia melebihi kapasitas lapas yang ada.
Dalam draf revisi PP No 99/2012 ketentuan justice collabolator (JC) sebagai syarat remisi bagi pelaku tindak pidana korupsi, terorisme, dan narkotika, dihilangkan.
JC adalah pelaku pidana yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar keterlibatan pelaku lainnya.
Berdasarkan Pasal 32 draf revisi PP No 99/2012, narapidana yang melakukan tindak pidana korupsi, terorisme, dan narkotika diberikan remisi dengan dua syarat pokok, yakni berkelakuan baik dan telah menjalani sepertiga masa pidananya.
Di dalam pasal yang sama juga dirinci, khusus untuk napi yang melakukan korupsi dan pidana pencucian uang, ia terlebih dahulu melunasi denda dan uang pengganti sebagaimana diputuskan pengadilan.
Menkumham Yasonna Laoly sebelumnya mengatakan, PP akan direvisi karena bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
(baca: Revisi PP Remisi Dianggap Jadi "Karpet Merah" Koruptor, Ini Penjelasan Menteri Yasonna)