JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi IX DPR meminta agar Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyiapkan draf rancangan undang-undang tentang pengawasan obat dan makanan untuk memperkuat kewenangan lembaga tersebut.
Poin itu disampaikan Ketua Komisi IX, Dede Yusuf sebagai salah satu poin kesimpulan dalam rapat kerja bersama Menteri Kesehatan Nila Moeloek, BPOM, Biofarma, dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).
"Komisi IX DPR RI meminta kepada BPOM untuk menyiapkan draf awal RUU tentang Pemgawasan Obat dan Makanan serta Pemanfaatan Obat Asli Indonesia agar dapat menjadi bahan dalam penyusunan RUU tersebut," ujar Dede di ruang rapat Komisi IX, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (27/6/2016).
Dede melihat, kasus vaksin palsu yang disebut sudah bergulir sejak 2003 menandakan bahwa pemerintah lalai dalam fungsi pengawasan. BPOM sebagai satu-satunya badan yang mengawasi peredaran obat-obatan memiliki kendala di sisi regulasi.
"Dia (BPOM) tidak bisa melakukan penyidikan atau pun penangkapan secara langsung. Apakah harus ada penguatan dalam kelembagaan? Tentu berdampak sangat besar," kata Politisi Partai Demokrat itu.
(Baca: Vaksin Palsu Beredar, Fahri Hamzah Anggap BPOM Kebobolan)
Adapun empat kesimpulan lainnya dalam rapat tersebut di antaranya adalah DPR meminta BPOM meningkatkan pengawasan baik pre-market maupun post-market secara intensif termasuk pendistribusian vaksin agar sesuai dengan kaidah Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB).
DPR juga meminta Kemenkes dan BPOM untuk memberikan laporan hasil investigasi secara tertulis terkait penanganan kasus peredaran vaksin palsu tersebut paling lambt 30 Juni 2016.
Komisi IX, lanjut Dede, juga menilai pengawasan pemerintah terhadap pembuatan dan peredaran vaksin sangat lemah.
Oleh karena itu, Kemenkes dan BPOM diminta memperkuat kerja sama lintas sektoral terhadap pengawasan produk dan pengamanan rantai suplai vaksin dengan membentuk gugus tugas (task force) agar dapat meminimalisasi dampak penyebaran dan peredaran vaksin palsu.
(Baca: Mendagri Perintahkan Kepala Daerah Cek Peredaran Vaksin Palsu)
Sementara itu, satu kesimpulan ditujukan kepada Kemenkes, yaitu agar Kemenkes mengamankan vaksin di seluruh fasilitas pelayanan kesehatan yang pengadaannya dari sumber tidak resmi dan menariknya apabila terbukti palsu serta mendata jenis vaksin yang telah dipalsukan dan sarana pelayanan kesehatan yang diduga sebagai pengguna.
"Kemenkes juga secara proaktif dan intensif mendata masyarakat atau pasien penerima vaksin palsu melalui data dari fasilitas dan layanan kesehatan (fasyankes) yang menggunakan vaksim palsu agar dapat segera dilakukan vaksinasi ulang," kata Dede.
Upaya pengungkapan kasus vaksin palsu ini berawal dari temuan penyidik Subdirektorat Industri dan Perdagangan Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri di tiga wilayah, yaitu Jawa Barat, Banten dan DKI Jakarta.
(Baca: Pasutri Pembuat Vaksin Palsu Diduga Manfaatkan Kekurangan Stok di Rumah Sakit)
Menteri Kesehatan Nila Moeloek mengatakan, keberadaan vaksin palsu itu diketahui sudah mulai beredar sejak 2003 silam. Saat ini, pihak aparat masih menggali informasi lebih jauh terhadap pelaku yang telah ditangkap.
Dalam penggeledahan beberapa waktu lalu, penyidik mengamankan barang bukti, yakni 195 saset hepatitis B, 221 botol vaksin polio, 55 vaksin anti-snake, dan sejumlah dokumen penjualan vaksin.
Sejauh ini, sudah sembilan orang ditetapkan sebagai tersangka. Mereka dijerat Pasal 197 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun dan denda Rp 1,5 miliar dan Pasal 62 juncto Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.