JAKARTA, KOMPAS.com - Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menolak rancangan Undang-Undang Pengampunan Pajak atau 'Tax Amnesty' yang kini masih dibahas pemerintah dan DPR.
Manajer Advokasi dan Investigasi FITRA, Apung Widadi mengatakan bahwa pihaknya akan menggalang penolakan RUU itu di seluruh Indonesia.
"Kami akan menggelorakan dan menggalang gerakan nasional penolakan atas RUU Pengampunan Pajak dengan semua stakeholder, akademisi, tokoh masyarakat, mahasiswa dan rakyat," ujar Apung di kantornya di Jakarta, Jumat (29/4/2016).
Ada sejumlah alasan mendasari penolakan itu. Pertama, RUU itu bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 23 dan 23 A di mana pemungutan pajak dalam APBN bersifat memaksa, bukan mengampuni seperti yang tertuang dalam RUU.
Kedua, Indonesia pernah dua kali gagal dalam menerapkan pengampunan pajak, yakni pada tahun 1964 dan 1984. Kegagalan berpotensi terjadi kali ini juga. (baca: KPK Nilai RUU "Tax Amnesty" Tak Adil bagi Rakyat Kecil)
Malah, RUU itu rentan dimanfaatkan bagi sebagian orang yang ingin 'membersihkan' uangnya yang bisa saja berasal dari tindak pidana korupsi.
Ketiga, RUU ini berpotensi menjadi 'karpet merah' bagi konglomerat, pelaku kejahatan ekonomi, keuangan dan perbankan serta pelaku pencucian uang.
Sebab, dalam draf RUU dicantumkan asal seorang atau badan mengajukan pengampunan maka akan diberikan tanpa melihat asal-usul harta. (baca: "Tax Amnesty" Diyakini Akan Dorong Penguatan Rupiah)
"Ini berpotensi menarik banyaknya uang haram ke dalam APBN serta perekonomian Indonesia," ujar Apung.
Selain itu, jumlah uang yang disetor ke negara sebagai bentuk pengampunan sangat kecil. Dalam draf, hanya sebesar 3 persen, 5 persen dan 8 persen. Menurut FITRA, seharusnya lebih besar dari itu.
(baca: Jokowi Siapkan PP Deklarasi Pajak, Menkeu Nyatakan Tetap Fokus UU Tax Amnesty)
Terakhir, FITRA menilai, RUU itu berpotensi membuka ruang korupsi baru. Ruang itu terbuka saat peserta Tax Amnesty memulangkan uangnya dari luar negeri.
"Ini berpotensi terjadi pada Satgas Tax Amnesty. Sebab sistem pengawasan dan transparansinya tidak ada. Satgas justru berpotensi transaksional dengan memanipulasi hitungan uang tebusan dan lain-lain," ujar Apung.
RUU Tax Amnesty akan dikebut pembahasannya selama masa reses DPR yang dimulai pekan depan. Langkah itu dilakukan setelah pimpinan DPR bertemu dengan Presiden Joko Widodo.