Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perundungan Elite di Media Sosial

Kompas.com - 05/04/2016, 05:05 WIB

Presiden keenam RI yang juga Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono mengeluh atas perundungan atau bully terhadap partainya yang sebagian terjadi di media sosial.

Keluhan atas perundungan ini menjadi bahan refleksi menarik untuk melihat kedewasaan netizen atau pengguna internet dalam menyampaikan pesan sekaligus kebesaran hati elite politik menerima kritik.

Sebagai alat, media sosial sangat tergantung pada penggunanya. Di sini kematangan pengguna media sosial jadi penting karena perubahan zaman dan alat berkomunikasi juga perlu diikuti dengan perubahan perilaku penggunanya.

Di masa sistem pemerintahan negara kota semacam Romawi atau Yunani kuno, politisi tinggal berbicara di forum-forum untuk menyampaikan pesan kepada publik.

Namun, politisi juga perlu punya keahlian khusus. Cicero (106-43 SM), politisi, orator, sekaligus filsuf Romawi, harus berlatih orasi sebelum berkecimpung ke politik karena di masa itu keahlian orasi menjadi kunci menggaet konstituen.

Di era setelah penemuan mesin cetak, lalu perkembangan media elektronik, komunikasi antara politisi dan konstituennya berlangsung melalui perantara media.

Sifat komunikasinya hampir serupa dengan masa-masa negara kota. Namun, bukan hanya komunikasi searah satu orang ke masyarakat, melainkan terkadang komunikasi bisa berjalan dua arah melalui filter organisasi dan ideologi media.

Di era internet, komunikasi bisa berlangsung multiarah. Seorang konstituen yang senang dengan program kerja politisi bisa langsung memuji-muji tokoh idolanya lewat Twitter atau Facebook.

Begitu pula dengan masyarakat yang tak suka dengan pernyataan politisi, bisa langsung memarahi politisi tersebut.

Sistem komunikasi multiarah ini di satu sisi bisa menjadi positif apabila dijadikan sarana mengatasi defisit demokrasi.

Media sosial bisa digunakan warga menyampaikan unek-unek, kritik, dan saran dalam pengambilan kebijakan publik. Namun, jika media sosial digunakan sebagai alat merundung politisi, tentu akan jadi berbeda ceritanya.

Perdebatan soal perundungan siber ini juga terjadi di ruang publik di negara-negara yang demokrasinya lebih matang daripada Indonesia, seperti Amerika Serikat dan Inggris. Media cetak di kedua negara itu juga membahas baik-buruknya politisi di-bully.

Dalam konteks kampanye pemilihan presiden AS 2012 silam, Time menurunkan tulisan "The Problem with Political Cyberbullying".

Pesannya, jika remaja tak boleh dirundung karena bisa membahayakan pertumbuhan mental ataupun keselamatan mereka, apakah politisi boleh di-bully?

Halaman:


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com