Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bambang Widjojanto: Ada Diskriminasi Penanganan Korupsi dengan Terorisme

Kompas.com - 17/02/2016, 18:11 WIB
Indra Akuntono

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto menganggap ada perbedaan cara pemerintah dan DPR dalam menangani kejahatan korupsi dan terorisme.

Perbedaan itu nampak dari komitmen menguatkan aturan soal antiterorisme dan dugaan pelemahan KPK melalui revisi undang-undang.

"Ada diskriminasi kebijakan," kata Bambang dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (17/2/2016).

Bambang menuturkan, kinerja pemberantasan korupsi dan terorisme di Indonesia sama-sama menorehkan prestasi dalam 10 tahun terakhir. (Baca: Agus Rahardjo: Banyak "Penumpang Gelap" di Balik Revisi UU KPK)

Karena itu, dia berharap komitmen pemerintah dan DPR memberantas korupsi juga sama-sama ditingkatkan seperti komitmen menangani terorisme.

"Yang satu kewenangannya diperluas, anggaran ditambah. Tapi yang satunya lagi dipreteli, tambah lemas," ungkapnya.

Bambang lalu mengutip hasil survei Indikator yang menyebut 78 persen responden anak muda di Indonesia menolak revisi UU KPK. (Baca: Ini Alasan PDI-P Motori Revisi UU KPK)

Kategori anak muda dalam survei itu adalah WNI berusia 20-40 tahun yang jumlahnya diperkirakan lebih dari 80 juta jiwa.

"Pertanyaan reflektifnya, revisi ini mewakili siapa? Kalau Anda tidak bisa menjawab, apa alasan Anda melakukan itu," pungkas Bambang. (baca: Grace Natalie Anggap Revisi UU KPK Bentuk Pengkhianatan DPR)

Setidaknya ada dua Undang-undang yang akan direvisi oleh pemerintah dan DPR, yakni UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK dan UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme.

Dalam revisi UU Anti-Terorisme, penguatan pemberantasan terorisme akan difokuskan pada perluasan kewenangan Polri untuk melakukan penahanan sementara terhadap terduga teroris, dan masa penahanan sementara terduga teroris yang diperpanjang.

(baca: Luhut Berharap Tak Ada Perdebatan Revisi UU Anti-terorisme di DPR)

Selain itu, revisi juga mencakup dimudahkannya izin bagi polisi dalam melakukan penahanan sementara, dan sanksi pencabutan paspor bagi WNI yang bergabung dengan kelompok radikal di luar negeri.

Adapun terkait revisi UU KPK, setidaknya ada empat poin yang ingin dibahas, yakni pembatasan kewenangan penyadapan, pembentukan dewan pengawas, kewenangan KPK menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3), serta kewenangan rekrutmen penyelidik dan penyidik.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
 PAN Nilai 'Presidential Club' Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

PAN Nilai "Presidential Club" Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Nasional
LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir 'Game Online' Bermuatan Kekerasan

LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir "Game Online" Bermuatan Kekerasan

Nasional
MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

Nasional
PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Nasional
Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Nasional
'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

"Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

Nasional
Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com