"Sudah sepatutnya Partai Golkar melakukan pergantian antar waktu kepada yang bersangkutan. Apalagi dengan level kesalahan yang dilakukannya," kata Koordinator Divisi Hukum Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (22/12/2015).
Dalam sidang di Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) beberapa waktu lalu, tujuh anggota MKD menyatakan Novanto melakukan pelanggaran etik berat, dan sepuluh lainnya menyatakan pelanggaran etik sedang.
Namun, MKD memilih menutup kasus itu setelah pengunduran diri Novanto sebagai Ketua DPR.
Sebelum kasus dengan Freeport, Novanto telah divonis bersalah melakukan pelanggaran etik ringan, menyusul pertemuannya dengan bakal calon presiden Amerika Serikat dari Partai Republik, Donald Trump.
"Partai tidak boleh menjadi pelindung orang yang melakukan skandal atau pelanggaran etika," lanjut Novanto.
Selain kasus yang berulang, Donal mengatakan, ada dua alasan lain yang membuat Novanto layak diberi sanksi keras.
Pertama, kasus permintaan saham itu saat ini tengah diselidiki Kejaksaan Agung. Kejagung menemukan adanya dugaan upaya pemufakatan jahat di dalam proses permintaan saham itu.
Untuk diketahui, permintaan saham itu disampaikan Novanto saat berbincang dengan pengusaha minyak Riza Chalid dan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, Maroef Sjamsoeddin, pada 8 Juni 2015 lalu.
"Untuk menghindari intervensi dan gangguan dalam proses hukum, seharusnya Golkar melakukan PAW terhadap Setya," kata dia.
Kedua, kata dia, ada potensi Novanto mengulangi perbuatannya. Novanto memang telah menyatakan mundur sebagai Ketua DPR pekan lalu. Namun, saat ini statsunya masih menjabat sebagai anggota DPR.
"Yang bersangkutan memiliki potensi melakukan kembali perbuatannya yang sama. Sehingga, harusnya partai mencegah sejak dini agar perbuatan yang sama tidak terulang," kata dia.