Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bareskrim Temui Jalan Buntu dalam Pengusutan Penimbunan Sapi

Kompas.com - 26/08/2015, 14:38 WIB
Fabian Januarius Kuwado

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Penyelidikan kasus penimbunan sapi siap potong di Bareskrim Polri menemui jalan buntu. Penyidik tidak menemukan dasar hukum untuk menjerat pemilik feedlotter yang menahan stok sapi siap potong.

"Ya, bisa dibilang mentoklah ini," ujar Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigjen Victor E Simanjuntak di komplek Mabes Polri, Rabu (26/8/2015).

Awalnya, penyidik yang dipimpin langsung oleh Kepala Bareskrim Polri Komisaris Jenderal Budi Waseso menggerebek dua feedlotter di Tangerang, Rabu (12/8/2015). Pada dua tempat itu, penyidik menemukan 21.933 ekor sapi, sekitar 5.000 di antaranya siap potong.

Polisi menduga pengusaha menyimpan sapi siap potong sehingga menyebabkan gejolak harga di pasaran. Pada saat itu, harga daging sapi di Jabodetabek telah menyentuh Rp 120.000 per kilogram.

Tiga orang pemilik feedlotter berinisial BH, PH, dan SH, beberapa orang karyawannya, pejabat Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan diperiksa atas kasus itu sebagai saksi. (Baca Bareskrim Periksa Pemilik "Feedlotter" yang Diduga Simpan Sapi Siap Potong)

"Kami awalnya menyiapkan Pasal 29 juncto Pasal 107 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan untuk menjerat si pelaku penimbunan. Itu mengatur soal sanksi penimbun barang penting," ujar Victor.

Namun, saat gelar perkara yang dilaksanakan pada Senin (24/8/2015), tiga saksi ahli, yakni pejabat Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan menyebutkan, aksi menahan stok sapi itu tidak termasuk unsur penimbunan barang penting. Dasar saksi ahli itu adalah Pasal 11 ayat (1) dan (2) Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting.

Ayat (1) berbunyi "dalam hal terjadi kelangkaan barang, gejolak harga dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang, barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dilarang disimpan di gudang dalam jumlah dan waktu tertentu". Adapun ayat (2) pasal yang sama berbunyi, "jumlah tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu jumlah di luar batas kewajaran yang melebihi stok atau persediaan barang berjalan, untuk memenuhi pasar dengan waktu paling lama tiga bulan, berdasarkan catatan rata-rata penjualan per bulan dalam kondisi normal".

Artinya, jika rata-rata penjualan di feedlotter itu 150 ekor per hari, jumlah yang masuk kategori penimbunan sekitar 13.000 ekor sapi. Adapun yang penyidik dapatkan di kedua feedlotter itu hanya 5.000-an ekor sehingga tidak termasuk kategori penimbunan.

"Penyidik kan tidak dapat mengabaikan saksi ahli. Tapi ya bagaimana, saksi berpendapat begitu. Apa yang diungkapkan saksi ahli itu mementahkan berkas penyidik," ujar Victor.

Revisi bukan solusi

Victor mengatakan, apabila Presiden Joko Widodo merevisi Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2015, maka dipastikan tidak akan dapat menjerat pengusaha dua feedlotter itu sebab sebuah peraturan tak berlaku surut. Artinya, meskipun presiden merevisi perpres itu, polisi tetap tidak dapat menjadikannya pegangan untuk memidanakan perbuatan di masa lalu.

Ketika ditanya apakah akan menghentikan kasus itu, Victor menjawab tidak. Rabu ini, ia memeriksa saksi ahli dari akademisi untuk mencari celah hukum dalam perkara itu. Selain itu, perkara itu juga masih pada tahap penyelidikan. Artinya, tidak ada mekanisme surat perintah penghentian penyidikan (SP3). "Kita tetap berupaya yang terbaiklah dalam kasus ini," ujar dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com