JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti menilai penetapan mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana oleh Bareskrim Polri terlalu cepat. Menurut dia, Polri sengaja membidik aktivis antikorupsi yang memberi kritik keras ke kepolisian.
"Kasus Denny dengan cepat mereka bisa tetapkan sebagai tersangka itu memberi sinyal bahwa para aktivis yang kritis pada polisi dan peduli pada antikorupsi sangat potensial diadukan lalu dijadikan tersangka," ujar Ray melalui pesan singkat, Rabu (25/3/2015).
Ray mengatakan, penetapan Denny sebagai tersangka merupakan upaya kepolisian untuk memperingatkan aktivis mengenai dampak kritik mereka. Menurut dia, Polri ingin aktivis lebih menahan diri untuk tidak bersuara sumbang terhadap perilaku polisi. "Aduan-aduan yang terkait dengan mereka dengan sangat cepat direspon oleh polisi dan bahkan sangat cepat dinyatakan sebagai tersangka," kata Ray.
Selain itu, kata Ray, Polri seolah ingin menunjukkan bahwa lembaga hukum itu juga dapat menangani perkara korupsi. Ray mengatakan, hal tersebut dilakukan untuk mengurangi keraguan masyarakat atas kepedulian Polri memberantas korupsi. "Mereka juga ingin mampu mengungkap kasus korupsi yang bahkan melibatkan elite-elite nasional," ujar dia.
Dengan demikian, kata Ray, kritik masyarakat terhadap Polri terkait kasus Komjen Budi Gunawan akan berbalik menjadi positif. Ray mengatakan, apakah penetapan Denny sebagai tersangka merupakan bentuk kriminalisasi atau tidak akan terungkap di pengadilan.
"Hanya karena kasus ini terkait korupsi tentu tak ada sikap kita kecuali minta ini dituntaskan," kata Ray.
Denny ditetapkan sebagai tersangka setelah penyidik Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri melakukan gelar perkara, Minggu (22/3/2015). Gelar perkara tersebut melengkapi keterangan 21 saksi dan penyitaan tujuh dokumen yang telah dilakukan sebelumnya. Penyidik pun memutuskan Denny sebagai tersangka perdana dalam kasus yang disebut payment gateway.
Denny dianggap bertanggung jawab atas pengadaan proyek tersebut yang bernilai Rp 32,4 miliar. Dalam proyek yang berlangsung pada Juli-Oktober 2014 itu, terdapat pula dugaan pungutan tidak sah yang berasal dari pembuatan paspor sebesar Rp 605 juta.
Selain Denny, penyidik juga menduga ada keterlibatan dua vendor proyek tersebut, yaitu PT Nusa Inti Artha dan PT Finnet Indonesia. Sebelumnya, Denny mengatakan, penetapannya sebagai tersangka merupakan risiko dalam perjuangan memberantas korupsi. Denny mengatakan, sejak awal ia dan keluarga telah siap dengan penetapan tersangka itu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.