"Hingga saat ini kami selaku kuasa hukum belum menerima Keputusan Presiden (Keppres) yang menurut pemberitaan menolak grasi yang secara resmi kami ajukan pada 17 Juni 2013," kata Harry.
Karena itu, dia berharap rencana eksekusi mati atas kliennya dapat ditunda hingga statusnya jelas. "Kami sungguh tidak mengharapkan bahwa rencana eksekusi hukuman mati atas klien kami hanya sekadar pengalihan isu atas situasi politik yang panas saat ini, apalagi sampai melanggar hak-hak dari terpidana."
Dia membeberkan bahwa Ang Kiem Soei telah diputus dengan pidana mati berdasarkan putusan yang pertimbangannya tidak cukup dan tidak lengkap.
Menurut Harry, dalam putusan di tingkat Peninjauan Kembali Nomor 106 PK/Pid/2005 tanggal 1 Juni 2006, Majelis Hakim Agung yang memutus perkara hanya memberikan pertimbangan terhadap satu dari tiga alasan Peninjauan Kembali yang diajukan Ang Kiem Soei, sementara dua lainnya belum diperiksa sama sekali.
"Sangat disayangkan untuk masalah yang sangat penting, yaitu penjatuhan hukuman mati kepada seseorang, Mahkamah Agung melanggar hak klien kami dengan memberikan putusan yang pertimbangannya tidak cukup seperti itu," ucapnya.
Harry mengaku sudah berulang kali berusaha mengingatkan dan meminta Mahkamah Agung untuk menuntaskan pekerjaannya, dalam memeriksa dan memutus seluruh alasan Peninjauan Kembali yang diajukan Ang Kiem Soei.
Namun, dia menganggap Mahkamah Agung bersikap tidak peka dan memilih untuk mengabaikan kelalaian yang secara nyata dilakukan oleh Majelis Hakim Agung dalam Putusan tingkat Peninjauan Kembali Nomor 106 PK/Pid/2005 tanggal 1 Juni 2006 tersebut.
Harry menilai sudah menjadi pengetahuan umum bahwa beberapa terpidana narkoba tetap melanjutkan kegiatan ilegalnya di dalam penjara.
Tetapi, dia mengklaim Ang Kiem Soei mengambil jalan hidup berbeda. Kata dia, Ang Kiem Soei adalah bukti hidup bahwa sistem pembinaan dalam Lembaga Pemasyarakatan dapat berhasil.
Dalam masa pembinaannya, dia mengungkapkan, tepatnya sejak tahun 2003, Ang Kiem Soei berhasil menemukan dan menerapkan metode pengobatan herbal terapi dan rehabilitasi DE FIVE yang berasal dari tanaman patah tulang atau Euphorbia Tirucalli.
Dia menjelaskan metode itu sudah terdaftar sebagai obat yang resmi di Badan Pengawas Obat dan Makanan yaitu POM.TR.043 337 161 E. "Obat itu telah dipatenkan di Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 002.2004.32549.32885," ucapnya.
Sejak itu, Ang Kiem Soei telah melakukan praktik pengobatan herbal kepada sesama narapidana penghuni Lembaga Pemasyarakatan maupun masyarakat umum di luar lingkungan Lembaga Pemasyarakatan atas seizin dari Kepala Pemasyarakatan.
Karena itu, lanjutnya, sangat disayangkan, apabila seorang narapidana yang telah berhasil “dibina” dan dengan sungguh-sungguh menunjukkan penyesalan dan pertobatannya, justru tidak diberikan kesempatan kedua untuk sekadar hidup dan menjalani peran barunya sebagai orang yang mengabadikan sisa hidupnya untuk kebaikan.
"Berdasarkan alasan-alasan di atas, kami meminta agar pelaksanaan eksekusi mati terhadap Ang Kiem Soei dapat ditunda hingga dua alasan Peninjauan Kembali yang belum diperiksa dapat diperiksa dan diputus oleh Mahkamah Agung, serta Keppres yang menolak permohonan grasi Terpidana Ang Kiem Soei telah kami terima."
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.