KOMPAS.com - DUDUK lesehan beralaskan tikar. Melantunkan doa bersama-sama, kemudian bercengkerama ngalor-ngidul ditemani teh manis hangat dan sejumlah penganan jajan pasar. Kini, setelah lebih empat dasawarsa, kebersamaan di Partai Persatuan Pembangunan terasa begitu sangat mahal. PPP yang berdiri 5 Januari 1973 itu merasakan betul pahitnya.
Tahun 2014 menjadi tahun penuh ujian. PPP yang mengusung slogan sebagai ”Rumah Besar Umat Islam” terseret dalam perbedaan relasi kepentingan kekuasaan dan irama eksternal tanpa bisa mengendalikan diri.
Distorsi dan multitafsir atas proses politik pasca Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014 mengakibatkan PPP terjebak dalam pilihan kutub dan arus kepentingan berbeda, antara Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih. PPP akhirnya terjerumus ke jurang dan terbelah, yang menjadi tontonan publik dan diiringi kekecewaan konstituen.
Ketua Umum PPP hasil Muktamar Jakarta Djan Faridz dalam pidato politik Harlah PPP, Senin (5/1) malam, sampai-sampai menyebutkan, ”Walaupun kekisruhan internal PPP saat ini belum bisa dianalogikan sebagai perang siffin (perang saudara tahun 657), sesungguhnya perseteruan internal yang terjadi di tubuh PPP sedikit banyak telah memakan korban para kader partai. Banyak energi terbuang percuma, serta menghabiskan sumber daya partai yang telah terkumpul dan terbangun selama ini.”
Belum lagi, keprihatinan dan keharuan umat, serta konstituen menyaksikan konflik partai yang melahirkan cita rasa hambar, serta keraguan atas misi perjuangan politik PPP. Sebuah konsekuensi pahit yang harus sama-sama ditelan di tengah ikhtiar harapan merajut Rumah Besar Umat Islam.
Ketua Umum PPP hasil Muktamar Surabaya Romahurmuziy mengatakan, upaya islah tak pernah menjadi ”gayung bersambut”. Tiga kali ia mengirim utusan, tak pernah digubris.
Tanpa perpecahan saja, kondisi PPP sesungguhnya sudah sangat berat. Ketokohan tak pernah sungguh terasa kuat. Selama lima periode Pemilu (1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997), PPP yang diimpit oleh dua kekuatan politik, yakni Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), selalu menduduki posisi kedua. Perolehan kursi parlemen yang sempat anjlok pada Pemilu 1987 (61 kursi) dan 1992 (62 kursi) sempat mampu dibangkitkan kembali pada Pemilu 1997 (89 kursi parlemen).
Kejayaan memang pernah diraih. Namun, gelombang reformasi mengubah segalanya. Ideologi keagamaan terkikis. Pasca reformasi, saat PPP harus berhadapan dengan banyak partai pada Pemilu 1999, posisi PPP mulai turun. Dua periode Pemilu (1999 dan 2004), PPP hanya mampu mempertahankan 58 kursi di parlemen.
Kepemimpinan Suryadharma Ali pun tak mampu mempertahankan kekuatan PPP. Pemilu 2009, posisi PPP anjlok di posisi ke-6 dengan memperoleh 38 kursi. Persaingan memang semakin ketat. PPP mulai terbelah pada Pemilu 2014. Walaupun perolehan suara naik dibandingkan Pemilu 2009, rupanya perolehan kursi hanya bertambah satu menjadi 39 kursi di parlemen.
Melihat kenyataan itu, semua pihak semestinya menyadari dan sama-sama merefleksikan kembali perjalanan PPP selama 42 tahun. Ada sebuah tantangan berat yang dihadapi partai ini pada tahun 2019. Saat pemilu kembali digelar nanti, apakah PPP di bawah Djan Faridz atau Romahurmuziy yang mampu mendongkrak perolehan suara konstituen?
Dalam situasi terbelah, tampaknya kedua kepemimpinan kembar itu tak menjadi jaminan. Bahkan, kalaupun salah satu kubu akhirnya dimenangkan oleh PTUN, juga bukanlah jaminan kemenangan bagi PPP. Sebab, yang paling penting adalah bukan memenangi kekuasaan, tetapi lebih penting menyatukan semua kader PPP dalam rumah besar yang tenang. (STEFANUS OSA)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.