Saksi Prabowo-Hatta, Didik Supriyanto, mempertanyakan mengapa Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta hanya menjalankan PSU di 13 TPS saja. Padahal, Bawaslu DKI Jakarta sempat merekomendasikan agar PSU dilakukan di 17 TPS. Selain itu, Bawaslu juga merekomendasikan agar KPU melakukan penelitian ulang pemungutan dan penghitungan suara di 5.802 TPS di Jakarta. Akan tetapi, KPU tidak melakukannya.
"Kami minta penjelasan sikap Bawaslu setelah ada rekomendasi tidak dijalankan KPU, padahal itu adalah sebuah pelanggaran. Apa yang kemudian diterima informasi oleh Bawaslu?" ujar Didik.
Di sisi lain, saksi Jokowi-JK, Sudyatmiko Aribowo, mempertanyakan mengapa Bawaslu DKI Jakarta merekomendasikan PSU dengan alasan banyak pemilih yang hanya menggunakan kartu tanda penduduk (KTP) atau daftar pemilih khusus tambahan (DPKTb).
"Jangan hanya karena banyak DPKTb, lalu disimpulkan mobilisasi dan dibuat PSU," kata Sudyatmiko.
Saat anggota Bawaslu DKI Jakarta Susanti menjelaskan soal DPKTb dan rekomendasi PSU, saksi Jokowi-JK, Arif Wibowo, memotongnya. "Saya mengerti soal aturan. Tapi mengapa kemarin kami mempertanyakan kok di Malaysia, pemilihan melalui drop box dan pos DPKTb bisa DPKTb, ini di Jakarta ada DPKTb yang alamat di KTP-nya tidak sesuai dengan domisili, tempat dia memilih tidak diperbolehkan. Ini ada standar yang berbeda," kata Arif.
Sabtu (19/7/2014) lalu, KPU DKI Jakarta menggelar PSU di 13 TPS. TPS dilakukan karena ada laporan dari tim Prabowo-Hatta terkait mobilisasi massa. Perolehan suara Pilpres di DKI Jakarta seperti dipresentasikan KPU DKI Jakarta untuk Prabowo-Hatta adalah 2.528.064 suara. Sementara itu, Jokowi-JK mendapat 2.859.894 suara.
Jumlah DPKTb di DKI mencapai 323.332 orang. Suara tersebut belum disahkan karena masih ada keberatan dari masing-masing pasangan calon.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.