Ketika reformasi sudah 17 tahun berlalu, beranikah Presiden SBY memenuhi tuntutan keluarga korban?
Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Albert Hasibuan mengaku, rekomendasi DPR itu sudah ditindaklanjuti pemerintah melalui Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto.
“Menurut Menkopolkam, Keppres-nya sedang dalam persiapan,” ujar Albert di kantor Wantimpres, Senin (12/5/2014).
Mantan anggota Komnas HAM itu mengaku tak bisa memastikan kapan Keppres itu akan ditandatangani Presiden SBY. Namun, dia mengaku optimistis Keppres akan selesai pada masa Pemerintahan SBY yang kini tersisa lima bulan lagi.
“Semoga akan ada titik terang pada Oktober nanti,” ujarnya.
Saat ditanya mengapa presiden lama menandatangani Keppres itu, Albert berkilah karena tidak adanya political will. Namun, ia hanya tersenyum saat ditanya siapa yang dimaksudnya tak memiliki political will itu.
“Political will kita semua,” ujar Albert singkat.
Albert mengatakan, ia memahami penantian para keluarga korban karena pernah menjadi bagian dalam proses penyelidikan kasus Trisakti I dan II itu. Ia juga berharap agar mantan Kepala Staf Kostrad, Mayjen (Purn) Kivlan Zen, mau membuka semua yang diketahuinya soal peristiwa penculikan aktivis hingga peristiwa Semanggi, Trisakti I dan Trisakti II.
“Kami harapkan juga Beliau mau memberikan keterangan ke Komnas HAM agat kita tak lagi terbebani lagi dengan masa lalu,” ungkap Albert.
Hari ini, sejumlah korban penculikan aktivis seperti anak dari Yadin Muhidin, Novridaniar Dinis; ibunda dari Herman Hendrawan, Sumarsih; ayahanda dari Ucok Siahaan, Paian Siahaan mendatangi Wantimpres bersama sejumlah aktivis HAM dari Setara Institute, Imparsial, dan Kontras. Kedatangan mereka adalah menuntut kembali janji pemerintah dalam membentuk pengadilan HAM Ad Hoc.
“Ini saatnya Presiden membersihkan masa lalu dan meninggalkan legacy-nya," kata Ketua Badan Pekerja Setara Institute, Hendardi.
Janji SBY
Presiden SBY terakhir kali mengangkat isu HAM dalam pidatonya pada bulan Februari 2012 lalu. Saat itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan, pemerintah tetap menjalankan empat rekomendasi Panitia Khusus Peristiwa Penghilangan Orang secara Paksa periode 1997-1998 yang disetujui Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat pada September 2009.
Kejaksaan Agung, misalnya, telah melakukan pertemuan dengan pihak-pihak terkait, termasuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk menindaklanjuti rekomendasi DPR. Akan tetapi, ia tak merinci tindak lanjut tersebut.
"Jaksa Agung silakan nanti menjelaskan bagaimana itu semua, dan apa yang dihasilkan," kata Presiden pada acara silaturahim dengan jurnalis Istana Kepresidenan di Istana Negara, Jakarta, Senin (13/2/2012).
Pada September 2009, Pansus merekomendasikan Presiden untuk membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc. Presiden dan segenap institusi pemerintah serta pihak-pihak terkait juga direkomendasikan segera melakukan pencarian terhadap 13 orang yang oleh Komnas HAM masih dinyatakan hilang.
Selain itu, Pansus juga merekomendasikan Pemerintah untuk merehabilitasi dan memberikan kompensasi terhadap keluarga korban yang hilang, serta meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan untuk menghentikan praktik penghilangan paksa di Indonesia.
Terkait kasus-kasus pelanggaran HAM, Presiden mengaku menerima permintaan dari berbagai pihak agar dirinya menetapkan kasus-kasus tertentu sebagai pelanggaran berat HAM. Menurut Presiden, ia tak memiliki kewenangan menetapkan suatu kasus sebagai pelanggaran HAM berat.
"Ini ditetapkan oleh pengadilan. Yang berhak menyelidiki itu adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Manakala hasil penyelidikannya positif ada pelanggaran berat HAM, maka pengadilan yang menetapkannya sebagai pelanggaran HAM berat," kata Presiden.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.