Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dikhawatirkan, Tarif Nikah Multitarif Munculkan Gratifikasi

Kompas.com - 20/02/2014, 16:15 WIB
Icha Rastika

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com
- Sistem tarif nikah yang bervariasi (multitarif) dikhawatirkan memunculkan gratifikasi di kalangan penghulu. Hingga kini, Kementerian Agama masih mengkaji sistem penerapan tarif nikah yang ideal.

“Bisa saja multitarif, tapi kami di lapangan khawatir ada tafsir berbeda dari multitarif itu. Kalau ada tafsir beda-beda, maka gratifikasi itu akan muncul lagi,” kata Menteri Agama Suryadharma Ali dalam jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (20/1/2014).

Dalam diskusi yang turut dihadiri perwakilan Kementerian Keuangan, dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Suryadharma mengatakan akan mematangkan tindak lanjut revisi Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004 tentang tarif atas penerimaan negara bukan pajak di Kemenag, termasuk tarif nikah.

Menurutnya, draf revisi PP tersebut masih dibahas Kemenag bersama-sama dengan Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Dalam pembahasan revisi tersebut, lanjutnya, muncul dua gagasan mengenai penetapan tarif nikah, yakni single tarif dan multitarif. Mengenai gagasan multitarif, ada dua pertimbangan yang mendasarinya.

Pertimbangan pertama, kata Suryadharma, tingkat kemampuan ekonomi masyarakat yang bervariasi. Kedua, letak geografis yang berbeda-beda antara satu KUA dengan KUA yang lain.

“Karena lingkup KUA di kecamatan-kecamatan berbeda dari satu kemacatan dengan kemacatan
lain. Ada kemacatan yang mudah dijangkau, tapi ada juga yang harus gunakan speed boat dan pesawat. Itu pertimbangan geograifisnya. Ada prtimbangan ekonominya, miskin bagaimana, menengah bagaimana, kemampuan tinggi bagaimana,” tutur Suryadharma.

Namun, sistem multitarif ini dikhawatirkannya berpontensi memunculkan gratifikasi jika ditafsirkan secara berbeda. “Dari hasil pembahasan tadi, ada juga model-model yang akan kita kaji misalnya biaya rumah sakit ada kelas A, B, C, ada juga model upah minimal regional, upah minimal kabupaten kota, kalau di KUA semacam upah minimal kecamatan, makin tergambar kerumitan tetapkan tarif yang mendekati realita,” sambungnya.

Selain membahas tarif nikah multitarif, menurut Suryadharma, rapat dengan pimpinan KPK dan sejumlah instasi lainnya tersebut juga membahas potensi gratifikasi yang berkaitan dengan kepengurusan surat keterangan nikah N1, N2, N3, dan N4.

“Itu mulai dari RT, RW, kelurahan, kami kemukakan bagaimana mengatasi masalah seperti itu,” katanya.

Dalam diskusi tersebut, menurut Suryadhrama, Kemenag juga membahas masalah petugas pembantu pencatat nikah yang honornya bukan berasal dari Pemerintah. Menurut Suryadharma, petugas pembantu pencatat nikah diperlukan karena tenaga pegawai negeri sipil (PNS) di KUA tidak mencukupi.

“Karena memang pada tingkat kantor urusan agama, kami tidak memiliki personel yang cukup, direkrutlah P3N (petugas pembantu pencatat nikah) yang tidak dapat honor resmi dari pemerintah,” ujarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

KPU Tak Bawa Bukti Noken pada Sidang Sengketa Pileg, MK: Masak Tidak Bisa?

KPU Tak Bawa Bukti Noken pada Sidang Sengketa Pileg, MK: Masak Tidak Bisa?

Nasional
PDI-P Mundur Jadi Pihak Terkait Perkara Pileg yang Diajukan PPP di Sumatera Barat

PDI-P Mundur Jadi Pihak Terkait Perkara Pileg yang Diajukan PPP di Sumatera Barat

Nasional
Distribusikan Bantuan Korban Longsor di Luwu Sulsel, TNI AU Kerahkan Helikopter Caracal dan Kopasgat

Distribusikan Bantuan Korban Longsor di Luwu Sulsel, TNI AU Kerahkan Helikopter Caracal dan Kopasgat

Nasional
Hakim MK Cecar Bawaslu Terkait Kemiripan Tanda Tangan Pemilih

Hakim MK Cecar Bawaslu Terkait Kemiripan Tanda Tangan Pemilih

Nasional
Waketum Gerindra Nilai Eko Patrio Pantas Jadi Menteri Prabowo-Gibran

Waketum Gerindra Nilai Eko Patrio Pantas Jadi Menteri Prabowo-Gibran

Nasional
MKD Temukan 3 Kasus Pelat Nomor Dinas DPR Palsu, Akan Koordinasi dengan Polri

MKD Temukan 3 Kasus Pelat Nomor Dinas DPR Palsu, Akan Koordinasi dengan Polri

Nasional
Paradoks Sejarah Bengkulu

Paradoks Sejarah Bengkulu

Nasional
Menteri PPN: Hak Milik atas Tanah di IKN Diperbolehkan

Menteri PPN: Hak Milik atas Tanah di IKN Diperbolehkan

Nasional
Menkes: Indonesia Kekurangan 29.000 Dokter Spesialis, Per Tahun Cuma Produksi 2.700

Menkes: Indonesia Kekurangan 29.000 Dokter Spesialis, Per Tahun Cuma Produksi 2.700

Nasional
Kepala Bappenas: Progres Pembangunan IKN Tahap 1 Capai 80,82 Persen

Kepala Bappenas: Progres Pembangunan IKN Tahap 1 Capai 80,82 Persen

Nasional
Hakim MK Cecar KPU RI Soal Ubah Aturan Tenggat Waktu Rekapitulasi Suara Pileg

Hakim MK Cecar KPU RI Soal Ubah Aturan Tenggat Waktu Rekapitulasi Suara Pileg

Nasional
Pakar Hukum: PTUN Bisa Timbulkan Preseden Buruk jika Kabulkan Gugatan PDI-P

Pakar Hukum: PTUN Bisa Timbulkan Preseden Buruk jika Kabulkan Gugatan PDI-P

Nasional
Gerindra: Pak Prabowo Bisa Jadi Presiden Terpilih berkat Doa PKS Sahabat Kami

Gerindra: Pak Prabowo Bisa Jadi Presiden Terpilih berkat Doa PKS Sahabat Kami

Nasional
Pakai Pelat Palsu Anggota DPR, Pemilik Alphard dalam Kasus Brigadir RAT Bakal Dipanggil MKD

Pakai Pelat Palsu Anggota DPR, Pemilik Alphard dalam Kasus Brigadir RAT Bakal Dipanggil MKD

Nasional
Jokowi Soroti Banyak Program Pemerintah Pusat dan Daerah yang Tak Sinkron

Jokowi Soroti Banyak Program Pemerintah Pusat dan Daerah yang Tak Sinkron

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com