KOMPAS.com - BENCANA alam yang melumpuhkan Indonesia bukan sesuatu yang natural. Pada hakikatnya ia berkaitan dengan kebijakan politik yang gawur. Kebijakan seperti itu mencerminkan tingkat kecerdasan politik para pengambil kebijakan yang hanya terarah pada motif mendapat keuntungan ekonomis.
Afirmasi kaitan antara bencana alam dan kebijakan politis patut diapreasiasi, tetapi belum mencukupi. Pertanyaan-pertanyaan mendasar yang patut diajukan: bagaimana ”memaksa” pengambil kebijakan yang asal-asalan mempertanggungjawabkan kerugian yang ditimbulkan oleh keteledorannya? Bukankah kebijakan yang salah harus dipertanggungjawabkan?
Bencana alam ternyata membawa kerugian luar biasa. Sepanjang Januari, kerugian yang dialami di Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur dan Ogan Komering Ilir (Sumsel) Rp 7,1 miliar; di Jakarta dan kota-kota sekitarnya Rp 200 miliar per hari; jalur pantai utara Jawa Rp 15 miliar per hari; dan Gunung Sinabung Rp 712 miliar per hari. Hitungan itu belum memasukkan kerugian fisik yang diderita di Manado, Kudus, Jepara, dan daerah lain. Perhitungan kerugian fisik-ekonomis tersebut belum mencakup kerugian psikologis dan afektif yang tak dapat diangkakan, seperti hilangnya rasa aman dan makin meningkatnya rasa cemas atau tertekan.
Dunia akademik agak terguncang ketika Pemerintah Italia, beberapa tahun silam, melalui pengadilan memutuskan menghukum para ahli dengan tuduhan penghilangan nyawa manusia ketika bencana gempa bumi menimpa wilayah L’Aquila. Para ahli itu tergabung dalam Komisi Risiko Besar atau Tanggap Darurat (La Comissione Grandi Rischi) yang bertanggung jawab mengadakan studi sistematis penanggulangan bencana jangka panjang. Hasil studi mereka 3 tahun sebelum terjadinya gempa sebenarnya telah mencukupi untuk menghindarkan banyak korban. Hasil studi yang menghabiskan jutaan euro itu ternyata lalai dikomunikasikan untuk diwujudkan dalam kebijakan publik.
Semua keputusan hukum itu dijatuhkan atas dasar penalaran bahwa bencana alam bisa terjadi kapan saja, tetapi umumnya ada unsur keterlibatan manusia di dalamnya. Dalam penalaran itu, para teknisi/insinyur dihukum karena tidak membangun rumah sesuai standar yang diwajibkan pemerintah. Beberapa kepala daerah diusut karena tak mengindahkan laporan para ahli yang telah memberikan peringatan dini menghadapi kemungkinan longsor di wilayahnya. Ongkos kebodohan politik adalah penjara bagi pejabat publik.
Indonesia hampir setiap tahun menghadapi darurat bencana. Pemerintah tergagap menanggapi bencana dan tidak terlihat adanya usaha penyelesaian jangka panjang. Meski menganut paham pembangunan berkelanjutan, prinsip-prinsip dasar paham itu dilanggar. Terjadi perambahan hutan lindung, penambangan terbuka di kawasan lindung, alih fungsi daerah resapan air, pembuangan sampah ke air, dan pelanggaran tata ruang. Apa yang melandasi kebodohan kebijakan di ranah publik itu?
Kesadaran etis-politis
Teolog dan ahli etika, Hans KÜng, memberikan jawaban dengan penegasannya bahwa paham pembangunan berkelanjutan gagal diwujudkan antara lain karena tidak adanya kehendak etis dan kemauan politis. Agama- pun sering gagal mendukung pembangunan berkelanjutan.
Menurut dia, perlu perubahan mendasar dalam kesadaran manusia akan tempatnya dalam ”rantai generasi”. Hal itu akan melahirkan sikap berutang budi atas masa lampau dan pengakuan akan kewajiban terhadap masa depan generasi berikutnya bersama planet yang dihuninya.
Mengikuti arus pemikiran di atas, yang terus-menerus kita saksikan di ranah publik Tanah Air adalah absennya kesadaran etis-politis untuk mewujudkan idealisme pembangunan berkelanjutan. Kebijakan publik yang salah tak dapat sanksi hukum. Rakyat, sebaliknya, dibiasakan menerima bencana alam sebagai ”nasib” yang tak terhindarkan. Ajaran agama dibonceng untuk menenteramkan hati rakyat dengan membaca bencana yang sebenarnya ulah manusia seakan sebagai ”hukuman Tuhan”.
Minimnya kesadaran etis-politis memudahkan pejabat publik cuci tangan dari tanggung jawab atas kebijakan yang salah. Pengambil kebijakan publik imun terhadap kritik karena bencana alam dibaca sebagai ”kekuatan alam” dan mereka yang terkena bencana mudah menerimanya sebagai nasib yang telah ”ditakdirkan”. Belajar dari negara lain, Indonesia kini memerlukan keputusan politik dan perangkat hukum untuk menuntut pejabat publiknya mempertanggungjawabkan keputusan-keputusannya. Pejabat yang keputusannya melahirkan bencana alam yang membahayakan/menghilangkan nyawa warga negara wajib membayar keteledorannya dengan ganjaran hukum.
Paulinus Yan Olla MSF, Rohaniwan, Lulusan Program Doktoral Universitas Pontificio Istituto di SpiritualitÀ Teresianum, Roma
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.